Ide itu mudah dimunculkan. Semua orang bisa memberikan ide.
Bahkan tetangga saya seorang anak Sekolah Dasar (SD), kelas 5 SD juga bisa memberikan ide.
Jadi waktu itu ada kotoran kucing. Setiap hari di latar rumahnya ada kotoran kucing.
Bocah itu lalu mengeluh ke saya. Karena waktu itu lagi senggang saya tanya.
“Ada apa bro? Kok diam bae gak main sama teman-temanmu,” ucap saya dalam bahasa Jawa ke bocah itu.
Dia menjawab habis di marahi papanya. Kucingnya bakal dibuang ke jauh tempatnya.
Ancaman itu sungguh berarti buatnya. Kucing warna putih miliknya itu selalu menemani tidur hingga pulang sekolah.
Alasan ancaman itu muncul karena kotoran kucingnya itu selalu ada di depan rumahnya.
Bukti bahwa kucingnya saja yang buang air besar di sana adalah papanya waktu berangkat kerja melihat kucing putih itu sedang diam di depan rumah.
“Terus agak lama pas papa mau ngeluarin mobil. Tata (nama kucing bocah itu) minggir lalu kotoran muncul,” kenangnya.
Sejak itu kucingnya pun langsung jadi target objek penyebab masalah papanya.
Saya kala itu hanya menemaninya. Terus untuk menghibur, saya ke rumah lagi untuk mengambil sebungkus cokelat untuk saya bagikan ke bocah itu. Tujuannya ya supaya terhibur sedikit.
Habis makan cokelat, dia pun tiba-tiba kayak orang baru bangun tidur. Matanya langsung menatap tajam ke muka saya.
Dia lalu menjelaskan ke saya dengan percaya diri.
“Aku ada ide mas,” kata dia.
Jadi idenya itu bocah yang masih di bawah umur ini ingin kucingnya dibelikan kandang. Lalu dikunci hingga buang air besar sampai kencing di kandang itu.
Saya bilang ke dia. Terus kalau kucing itu di kandang, siapa yang tidur dengannya. Alasan bocah itu suka Tata adalah kucing putih itu menemaninya tidur.
Dia terus bingung. Opsi itu tidak dieksekusi.
Dia ada lagi ide lainnya.
Saya biarkan saja idenya itu diucapkannya.
Bocah itu sambil memegangi dahinya bilang kalau kucing itu mending ditaruh di rumah saya saja.
Dibiarkan di rumah saya saja beberapa hari. Biar nanti kebiasaan ke rumah saya dan bisa seperti kucing saya yang buang air besar di lahan kosong dekat rumah saya.
Saya bilang, apa bocah itu mau bilang ke ibu saya perihal ide itu.
Sekadar informasi saja, saya setengah mati berusaha agar kucing saya namanya Puss bisa hidup di rumah saya. Ibu saya benci kucing.
Bocah itu terdiam lagi. Dia katanya takut mau bilang.
Saya urun ide. Bagaimana kalau bocah itu bilang ke papanya untuk beli pasir kucing.
Pasir kucing itu saya gunakan dulu awal Puss masuk ke rumah saya.
Bocah itu tersenyum. Dia berpikir ide saya bagus.
Namun tiba-tiba lemas lagi.
Saya tanya.
“Kenapa lagi? Kan benar itu solusinya,” heran saya sambil memegang ponsel pintar saya.
“Aku takut mas. Nanti papa malah bilang repot dan nanti dibelikan kucingku tetap berak di depan rumah,” jawab dia ketakutan.
Saya jadi berpikir. Ide apa yang harus saya berikan ke bocah ini.
Saya juga agak bingung. Bukan karena mencari solusi untuk kucing bocah ini. Tapi kenapa saya harus berpikir keras terhadap masalah bocah ini.
Lima menit saya berpikir. Dia sibuk memakan cokelat yang saya beri.
Akhirnya mobil papanya datang. Saya bilang ke dia.
“Sudah aku saja tak bilang ke papamu bagaimana agar kucingmu ini biar tidak berak di depan rumah,” tegas saya.
Bocah laki-laki itu penasaran. Dia hanya berpesan supaya kucingnya tetap di rumahnya. Bisa tinggal di rumahnya.
“Jangan ngomong aneh ya mas. Awas kalau nanti papa malah buang kucingku,” tuturnya.
Saya pikir bocah laki-laki ini cukup hebat. Saya tidak punya kucing. Dia punya ide banyak tapi tidak berani melakukan dan kini malah ngancam saya.
Karena saya ya lumayan bodoh dalam hal perkucingan, saya coba ide apa yang ada di otak saya.
Saya bicarakan hampir 15 menit dengan papa bocah itu. Dia tidak mendengar. Dia ke lahan kosong dekat rumahku sambil terlihat mengintip percakapan papanya dan saya.
“Oke mas siap kalau begitu. Aman Tata masih di rumah,” kata bapak umur 40 tahun itu.
Saya langsung menghampiri bocah itu. Dengan bibir saya tersenyum dan alis saya naik turun, saya bentuk lingkaran dengan jari jempol dan telunjuk.
“Oke aman,” kata saya.
Saya lalu pulang ke rumah. Saya ketemu Puss dan bermain. Si bocah itu pulang bersama Tata.
Tiga hari bocah itu riang. Tata pun terlihat sehat dan bermain bersamanya setelah mengaji sore.
Namun hari keempat. Bocah itu menangis ke saya. Karena Tata tidak lagi bermain di halaman rumahnya.
Tata kini sering bermain bersama Puss di dekat lahan kosong dekat rumah saya.
Dia pun menangis dan menyalahkan saya.
Saya heran tapi ya namanya bocah.
Saya jelaskan. Karena waktu itu saya sedang sibuk bermain ponsel pintar.
Saya buka Google. Saya cari cara supaya kucing tidak buang air besar sembarangan.
Salah satu tipsnya adalah minimalisir pasir di sekitar rumah.
Nah rumah bocah itu halamannya pasir. Tata senang bermain di situ bersama kawan-kawannya tak jarang Puss juga ke sana.
Jadi saya bilang ke papanya waktu itu.
“Bapak semen saja pak latar bapak yang berpasir terus diganti pot,” kata dia.
Waktu hari Minggu saya pun ikut membantu menyemen latar bapak itu. Bocah itu pun lihat tapi tidak bertanya ke saya. Saya juga tidak menjelaskan karena saya sibuk membantu papanya.
Jadi karena sudah disemen tidak ada pasir.
Hari Senin malam atau keesokan harinya, di Whatsapp papanya bocah itu mengirim pesan singkat.
“Terimakasih mas atas idenya. Akhirnya Tata tidak buang air besar di latar saya lagi. Tapi tetap ke rumah,” kata dia.
Namun terimakasih papanya itu tidak sejalan dengan anaknya.
Bocah itu malah suruh saya tanggung jawab kalau Tata tak lagi bisa main bersama di latar rumahnya.
Kalau siang Tata main di lahan kosong.
“Padahal kan sore dan malam sama kamu. Atau pas minta makan sama kamu,” kata saya ke bocah itu yang menangis dan coba dihibur ibu saya.
Sembari ibu saya menyiapkan brownies, bocah itu bilang menyesal membiarkan saya bicara ke papa saya terkait ide supaya Tata tetap tinggal di rumah.
Saya pun tertawa bersama ibu saya sambil makan brownies di sore itu.