Sidang Mafia Solar Pasuruan, Untung Besar Sejak 2016 Aman-aman Saja

Pengadilan Negeri Pasuruan, Rabu (27/9/2023).
Sidang mafia solar di Pengadilan Negeri Pasuruan, Rabu (27/9/2023).

Pasuruan, blok-a.com- Mafia solar subsidi asal Pasuruan Abdul Wachid, ini menggarong solar subsidi sejak 2016. Anehnya, bisnis itu aman-aman saja.

Keuntungannya menakjubkan. Per minggu tembus Rp80 juta. Kadang dalam satu bulan meraup untung Rp300 jutaan.

Modusnya pun menarik. Dia memodifikasi tangki truk hingga berdaya tampung 5000 liter. Sehingga dapat mengisi beberapa kali ke SPBU.

Truk khusus ini tak mencurigakan meskipun sehari bolak balik SPBU yang ada di wilayah Gedangan sampai Gempol.

Untuk memuluskan aksinya, truk ini selain ganti plat nomor juga plus barcodenya.

Demikian praktik mafia solar yang diduga melibatkan banyak pihak ini terungkap dalam sidang kedua lanjutan di Pengadilan Negeri Pasuruan, Rabu (27/9/2023).

Sidang kedua ini, tiga terdakwa Abdul Wachid- Direktur PT Mitra Central Niaga (MCN), Bahtiar Febrian Pratama, manager bisnis operasional dan Sutrisno, pemilik truk modifikasi mengikuti sidang secara virtual.

Sebelum digrebek Bareskrim Mabes Polri, Selasa 11 Juli 2023, penggarong solar subsidi ini berjaya.

Kali ini, jaksa penuntut umum (JPU) Feby Rudy Purwanto, menghadirkan dua saksi, Usman dan Rudi Antoni. JPU mencecar pertanyaan kedua saksi sampai muncul nama bahwa pemilik solar hasil curian itu adalah Fadilah.

Menurut Bachtiar, anak terdakwa Abdul Wahid Dirut PT MCN, bahwa pemilik asli solar hasil garongan di SPBU sebenarnya adalah Fadilah.

Pengakuan itu setelah upaya JPU mencecar dua saksi dengan pertanyaan hingga berbeda jauh dengan keterangan di BAP penyidikan. Ada upaya mengarahkan bahwa tiga terdakwa itu bukan otak pelaku.

Mendengar itu, dengan nada tinggi Majelis Hakim memerintahkan JPU untuk menghadirkan saksi penyidik di sidang lanjutan, 4 Oktober 2023 mendatang.

Persidangan yang jadi atensi masyarakat ini, pun tak lolos dari pantauan lembaga Pusaka.

Menurut Lujeng Sudarto, Ketua LSM Pusaka, jelas faktanya terdakwa sudah bekerja seperti mafia.

“Bayangkan, membeli solar subsidi berkali-kali di SPBU memakai barcode. Dan sudah berjalan sejak 2016 dengan hanya satu armada truk modifikasian, ini gila,” ujar Lujeng saat usai mengikuti jalannya sidang.

Menurutnya, majelis hakim harus jelis karena para terdakwa akan mengelak dari dakwaan dengan menyebut nama baru otak pelaku, dan mementahkan penyidikan polisi dengan dalih pemilik SPBU dan pembeli solar “colongan” itu yakni sejumlah pabrik malah tidak dijerat sebagai tersangka.

“Memang cara kerja mafia itu pasti melibatkan banyak pihak kongkalikong,” ujar Lujeng Sudarto lagi.

Dalam sidang kali ini terungkap bahwa terdakwa Bahtiar Febrian Pratama, berperan sebagai manajer operasional bisnis.

Sedangkan terdakwa Sutrisno, adalah pemilik truk modifikasian dan terdakwa Abdul Wachid, menerima order untuk kulakan solar di SPBU, dan memesan ke terdakwa Bahtiar.

Setiap kulakan ke Bahtiar, Wahid menyerahkan uang Rp200 juta per tiga hari. Di situ, Bahtiar menyiapkan beberapa plat nomor kendaraan truk dan QR barcode Pertamina.

Setelah siap, Bahtiar menghubungi Sutrisno selaku pemilik truk modifikasian berkapasitas 5000 liter atau 5 ton.

Untuk menyelesaikan misinya sehari hingga mendapat solar subsidi satu tangki, Sutrisno, dikontrak Rp15 juta per unit truk per hari.

Dari sini, Sutrisno memerintahkan sopirnya, Rudi Antoni, untuk menjelajahi sejumlah SPBU dari kawasan Kecamatan Bendungan hingga Gempol, Kabupaten Pasuruan.

Gonta-ganti plat nomor dan barcode di SPBU langganan berjalan mulus. Semua solar hasil itu disimpan di gudang penimbunan milik Abdul Wachid, terdakwa, Dirut MCN. Lokasinya di Kelurahan Mandaranrejo dan kedua di Kelurahan Gentong.

Solar subsidi itu selanjutnya dijual ke pembeli dengan harga Rp9000 hingga Rp11000 per liter.

Terdakwa Abdul Wachid dapat untung Rp80 juta per minggu atau kurang lebih Rp300 juta per bulan.

BBM solar subsidi yang diperuntukkan kepada warga yang tidak mampu, malah dikulak oleh tiga terdakwa ke pelaku bisnis besar, pabrikan.

Sesuai aturan Perpres nomor 191 tahun 2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM yang telah diubah dengan Perpres nomor 117 tahun 2021, bahwa badan usaha dan atau masyarakat dilarang melakukan penimbunan dan atau penyimpanan serta penggunaan jenis BBM tertentu yang bertentangan dengan perundang-undangan.

Dalam praktik mafia ini, pembelian satu liter solar subsidi Rp6.800, dijual kembali Rp9.000 dengan marjin untung Rp2.200.

Dalam satu bulan, rata-rata menjual Rp300.000 per liter dan keuntungan mencapai Rp660.000.000.

Atas perbuatan mereka, para tersangka dijerat pasal 55 UU 22/2021 tentang minyak dan gas bumi sebagaimana telah diubah pasal 40 angka 9 UU 6 tahun 2023 tentang Penetapan Perpu 2022 tentang Cipta Kerja yang menjadi UU juncto pasal 54 ayat 1 ke 1 KUHP.

Ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 6 miliar.(riz/kim)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?