Sidoarjo, blok-a.com – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya kembali menggelar sidang dugaan korupsi pembangunan pasar desa yang diduga dilakukan oleh terdakwa mantan Kepala Desa (Kades) Sumbersono Kecamatan Dlangu Kabupaten Mojokerto, Rabu (5/7/2023).
Dalam agenda sidang pembacaan tuntutan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tipikor Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Geo Dwi Novriansyah, SH, menuntut terdakwa mantan Kades Sumbersono, Trisno Hariyanto, dengan tuntutan 6,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsidair 6 bulan penjara.
Selain itu, terdakwa juga diwajibkan untuk membayar uang penganti sebesar Rp797 juta.
Apabila dalam tenggang waktu satu bulan setelah putusan inkrah terdakwa masih belum bisa membayarnya maka akan diganti dengan 3,3 tahun hukuman penjara.
Atas tuntutan tersebut, terdakwa Trisno Hariyanto menyerahkan kepada tim penasehat hukumnya untuk menyusun pledoi untuk kelanjutan agenda sidang berikutnya.
“Semuanya saya serahkan kepada penasehat hukum saya yang mulia,” ujar Trisno Hariyanto, saat ditanya ketua majelis hakim, Marper Pandiangan SH dalam persidangan.
Seperti diketahui mantan Kades Sumbersono dijebloskan ke penjara lantaran pada 2019 lalu telah membangun pasar desa di atas Tanah Kas Desa (TKD) berupa lahan persawahan.
Pembangunan pasar desa yang berlokasi di Dusun Pekingan, Desa Sumbersono tersebut diduga telah melanggar Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).
Tak hanya itu, penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kabupaten Mojokerto juga menemukan pembangunan 20 kios yang dibangun menggunakan sumber anggaran dari APBDes Sumbersono 2019 sebesar Rp800 juta tersebut tidak sesuai spesifikasi dan belum tuntas sehingga ditemukan kelebihan pembayaran kepada kontraktor.
Pembangunan pasar desa sebanyak 20 kios di atas tanah TKD tersebut dilaksanakan dengan menggunakan jasa kontraktor dari Kota Malang yang diketahui bernama Noto Hariyanto.
Namun saat diperiksa oleh Inspektorat Kabupaten setempat, mantan Kades periode 2013-2019 tersebut tidak bisa menunjukkan laporan pertanggungjawaban penggunaan dananya. (jum/kim)