Kadang hidup ini membuat saya merasa paling pintar. Kadang juga membuat saya merasa paling benar.
Karena saya sudah melakukan semua yang saya anggap luar biasa. Karena saya sudah melakukan hal yang tidak dilakukan semua orang.
Sialnya, kadang saya juga merasa saya benar. Kali ini ada tambahan, beberapa orang akan saya anggap salah. Kadang saya juga merasa paling pintar dan beberapa orang saya nilai bodoh.
Di paragraf kedua ini, bisa saya gambarkan saya ini merasa superior. Saya merasa semua orang tidak lebih baik dari saya. Saya yang paling paling dan tidak butuh masukan.
Lantas yang terjadi adalah kebenaran adalah milik saya saja. Kepintaran adalah milik saya saja.
Saya akhirnya anti dikritik. Saya akhirnya anti untuk diberi masukkan. Sebab apa? Sebab saya merasa sudah pintar. Sebab saya merasa sudah benar.
Nah di sini bahayanya. Saya tidak akan lagi ada yang memberitahu. Saya tidak akan lagi ada yang beri masukkan.
Atau tidak ada orang lain mau memberikan masukkan ke saya?
Karena saya merasa sudah benar dan pintar.
Padahal, saya ini manusia. Manusia itu tempatnya salah. Tempatnya sebuah yang dinamis, dan tidak tetap. Tempatnya sebuah perubahan, per tahun, per jam, hingga per detik.
Ketika situasi itu terjadi, ya nantinya akan begini.
Dunia atau semesta menaruh saya dalam sebuah jalan yang salah. Dunia memosisikan diri saya jadi orang yang bodoh. Kun faya kun.
Sialnya, saya tidak tahu bahwa saya berada di jalan salah. Sialnya saya tidak tahu jalan yang saya lalui ini menuntun saya menjadi orang bodoh.
Sebab apa? Sebab saya merasa lebih pintar. Sebab saya merasa sudah benar.
Memang mungkin sempat ada yang memberitahu saya bahwa saya ini perlu mengganti jalan. Mungkin juga ada yang bilang saya perlu mengoreksi diri saya.
Namun yang terjadi? Saya tidak peduli. Sebab semua orang saya anggap salah dan bodoh.
Kadang saya akan marah dan melakukan mode ‘pertahanan terbaik adalah menyerang’.
Jika saya dikritik atau diberitahu orang lain, saya anggap harga diri saya diserang. Pertahanan saya yang fiktif itu diserang.
Yang saya lakukan adalah malah memberi masukkan orang tersebut, orang yang memberitahu ‘kamu berjalan di lorong gelap. Itu bahaya’.
Yang saya lakukan adalah menyerang orang tersebut. Alih-alih mencerna ‘lorong gelap’ itu.
Jika sudah di titik itu, saya akan tetap di jalan yang saya anggap benar. Saya akan berada di jalan yang anggap pintar. Meskipun itu ‘lorong gelap’ dan tiada yang meneriakki saya untuk berhenti berjalan di lorong itu.
Entah yang terjadi nanti saya bodoh atau salah, saya tidak peduli. Saya jalan saja di lorong yang telap itu.
Jika saja seperti itu. Saya tidak peduli di ‘lorong gelap’. Itu tidak mengapa. Itu adalah hal baik.
Seperti kata Han di Tokyo Drift. Kurang lebih seperti ini: ‘Keputusan apapun yang kamu pilih hari ini, hal yang terbodoh adalah saat kamu kecewa dengan pilihan besok atau lusa.’
Di dunia sepak bola itu hanya ada dua yang berhasil seperti itu, Ibrahimovic dan Cristiano Ronaldo. Keduanya tidak mendengar kritikan dan masukkan.
Tapi keduanya kerja kerasnya edan. Saya atau pembaca artikel ini mungkin tidak bisa melakukannya.
Yang gagal banyak. Terbaru adalah pemain muda Manchester United, yakni Jadon Sancho. Dia adalah pesepakbola. Mahal harganya. Di klub sebelumnya BVB Dortmund dia adalah seorang winger andalan.
Namun hal itu tidak terjadi di Manchester United. Kontribusinya minim. Hingga Ten Hag pelatih anyarnya memberi dia masukkan, dia tidak dengar. Akhirnya Sancho tidak dimainkan saat Manchester United melawan Arsenal.
Dia marah. Dunia malah mengkritik dia habis-habisan. Karirnya sekarang turun atau saya prediksi akan habis.
Penulis Opini: Bob Bimantara Leander