Menapak Tilas Sisa Kisah Tahun Kelam 1965 di Kalipare Kabupaten Malang

1965 Kalipare Malang
Suasana Plang Jalan di Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang (blok-A/bob)

Kabupaten Malang, blok-A.com – Pensiunan Tentara, Serka Paeri (79) mencoba mengingat kembali kerisauannya saat tahun 1965 tepatnya saat pembantaian seluruh anggota ataupun orang yang diduga atau ikut dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) atau onderbownya.

Waktu itu, Paeri bertugas di Sumatera Utara. Sementara itu, orang tuanya tinggal di Desa Sukowilangun Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang.

Kerisauan Paeri bukan tanpa alasan. Sebab orang tuanya dulu merupakan Barisan Tani Indonesia (BTI) organisasi onderbow PKI.

“Tapi waktu itu orang tua saya tidak tahu kalau termasuk dalam BTI. Saya waktu itu di Sumatera Utara bertugasnya tahun 65. Tentu saja saya kepikiran,” kata dia.

Paeri menjelaskan, sambil kepikiran nasib orang tuanya di Kalipare, dia melihat ratusan orang yang diduga atau memang anggota PKI di Sumatera Utara dibantai. Namun pria kelahiran 1942 ini tetap profesional menjalankan perintah atasan untuk memberantas PKI.

“Tapi waktu itu saya komitmen. Siapapun atas perintah atasan saya akan lakukan. Tapi tentu saja saya risau. Di Sumatera saya melihat setiap di Kampung itu laki-lakinya besar atau kecil di kumpulkan dan malam harinya disembelih dibunuh begitu,” ujarnya.

Memang sebelum tahun 1965 atau tahun pembantaian PKI, sejumlah petani di Kalipare yang tidak termasuk anggota PNI (Partai Nasional Indonesia) atau warga NU (Nahdlatul Ulama) dimasukkan ke organisasi BTI.

Paeri menjelaskan, waktu dia masih di Kalipare dan belum menjadi tentara, seorang yang memasukan sejumlah petani ke organisasi BTI adalah Ketua Ranting PKI Desa Sukowilangun bernama Yahdi.

Petani di Desa Sukowilangun pun tidak ditawari secara langsung untuk masuk BTI. Waktu itu mayoritas warga secara ekonomi memang miskin dan buta huruf. Alhasil, saat Yahdi menawari warga untuk memiliki tanah ladang untuk bertani, banyak yang langsung mau. Padahal saat petani mengamini tawaran Yahdi, mereka sudah masuk BTI.

“Jadi Yahdi ini orangnya dulu pokoknya berpendidikan-lah dia dulu Kamitowo (Kepala Dusun) Dusun Tawang (salah satu Dusun di Desa Sukowilangun). Jadi langsung ditunjuk aja orangnya. Tiba-tiba di ladang sudah ada tanda namanya. Ya mau aja orang-orang dan gak tau itu masuk BTI. Termasuk ayah saya,” tutur dia.

Tanah yang diberikan PKI ke ayah Paeri adalah sekitar seperempat hektar. Tanahnya waktu itu ditanami pohon jati.

“Gak besar kok tanahnya cuma seperempat. Tapi ya ditanam saja waktu itu,” tutur dia.

Saat tahun 1965, untungnya petani yang termasuk BTI itu tidak ada yang dibunuh. Paeri menjelaskan, waktu tahun 1964 dia sempat dapat kabar dari Koramil Kalipare.

Dia menerima daftar siapa saja yang termasuk dalam daftar orang Kalipare yang akan dibunuh karena ikut onderbow PKI, yakni BTI.

“Semua itu saya lihat di daftar ada. Saya waktu itu cuma bisa pasrah. Untungnya sebelum 1965 memuncak. Koramil Kalipare memanggil petani yang masuk BTI itu. Mereka tahu kalau BTI ya dipanggil Koramil. Alhamdulilahnya karena mereka buta huruf, Koramil di sini paham dan tidak dimasukkan daftar itu. Karena butuh huruf dan tidak tahu dan tanahnya dikembalikan,” tutur dia.

Paeri yang kepikiran untungnya pada tahun 1966 kembali ke Kalipare. Dia mendapat jatah untuk pulang kampung ke Kecamatan Kalipare.

Senyum bahagia terlukis di wajahnya. Kedua orang tuanya masih hidup.

“Ya masih hidup dan waktu itu yang masuk BTI itu sudah dihapus termasuk orang tua saya. Alhamdulilah. Karena kalau masih termasuk. Keturunan dari ayah saya, hak hidupnya dicabut sudah gak punya hidup,” jelasnya bersyukur.

Sementara itu, dia menjelaskan berdasarkan laporan dari teman-teman anggota tentaranya, Yahdi yang merupakan ketua ranting PKI Sukowilangun sudah dibunuh, seturut pula dengan pesuruh dan keluarganya.

“Tapi saya tidak tahu dibunuhnya dimana. Keluarganya juga sudah hilang. Anaknya di bunuh di Pandaan. Rumahnya saya gak tahu yang mana,” ujarnya.

Sementara itu, salah satu saksi hidup lainnya, Sadi (79) Ketua RT 21 Dusun Tawang Desa Sukowilangun Kecamatan Kalipare mengaku waktu jaman pembantaian PKI hidupnya yang paling sengsara.

Dia mengaku takut untuk dekat dengan teman-temannya sendiri.
Dia takut jika nanti difitnah merupakan anggota PKI.

“Dulu itu sengsara. Kalau sekarang kan Covid-19 dekat sama teman ya takut. Dulu juga begitu. Dekat sama teman takut. Takut dicokot (dituduh) PKI. Saya diwanti-wanti orang tua saya jangan aneh-aneh. Magrib harus pulang,” imbuhnya ditemui beberapa waktu lalu oleh blok-A.com.

Saat magrib tiba, cerita Sadi, konon banyak orang yang dibunuh ketika keluar malam-malam karena diduga PKI.

Sementara waktu itu dia merupakan warga Dusun Kopral Desa Sukowilangun yang mayoritas adalah orang PNI.

“Ya banyak belehan (dibantai) gitu. Isunya dulu gitu. Tapi saya gak tahu apa-apa saya dulu hanya petani saja dan orang tua dulu PNI. Saya di Dusun Kopral mayoritas PNI. Jadi siang itu biasa saja. Pas malam itu takut,” ujarnya.

Ketakutan itu semakin menjadi-jadi, saat orang tua waktu itu mengatakan ke Sadi, terdapat hutan rimba yang diduga merupakan tempat pelarian orang PKI. Saat ini hutan rimba itu jalan penyambung antara Kecamatan Kalipare dan Kecamatan Sumberpucung.

“Iya dulu gak ada jalan sekarang kan ramai dulu rimba. Dan dulu di sana itu diduga disembelih itu PKI-PKI. Tapi saya tidak tahu langsung. Saya diberi tahu orang tua saya kalau gak boleh jauh-jauh kalau ngarit (mencari rumput) atau main tapi sekarang kalau lewat sudah biasa kan sudah ramai,” tutur dia.

Sadi mengatakan, selama tahun 1965 warga dusunnya untungnya selamat semua. Tidak ada yang hilang atau dibunuh.

“Gak ada alhamdulilah teman-teman saya tidak ada semua aman di sini di Dusun Kopral cuma kadang ya itu tegang aja setiap malam harus di rumah pokoknya,” tutup dia. (bob)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?