Kabupaten Malang, blok-a.com –
Kantor wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak Jatim III dan jajarannya menghadapi wajib pajak bernama (YS), perwakilan dari CV Sumber pangan.
Dipanggilanya Wajib pajak (YS) ke Kanwil DJP Jatim III dengan berdasarkan panggilan dengan surat permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan bernomor; SP2DK-511/WPJ.12/KP.09/2022, Selasa (14/3/2023). Pertemuan dilakukan di ruang Kelud, beralamat di jl.Letjen S. Parman, Belimbing, Malang.
“Kedatangan saya diminta pihak Kanwil DJP Jatim III untuk pembahasan atas sengketa pajak tahun 2018-2019 terhadap CV Sumber pangan yang belum diputuskan terkait permintaan keterangan surat ketetapan pajak tidak benar dibatalkan atau tidaknya oleh pihak DJP perwakilan wilah Jatim belum ada jawaban,” ujar YS kepada awak media.
Diceritakan YS, terjadi sengketa pajak yang dialaminya berawal dari pekerjaan mengolah bahan baku penggilingan padi menghasilkan produk samping berupa dedak beras. Dan kemudian, menjadi usaha bahan pakan ternak yang ditekuni YS sampai sekarang.
“Pekerjaan saya ini dikategorikan menjadi wajib pajak dengan PPN atas penjualan dedak beras untuk bahan pakan ternak,” sesalnya.
YS melanjutkan, dan tidak berkenan untuk membayar lalu bertulis surat ke direktur peraturan pajak I dengan jawaban bahwa dedak beras untuk bahan pakan ternak dikenakan PPN karna tidak terdapat dalam lampiran peraturan menteri keuangan 142 PMK 10 tahun 2017.
Atas dasar itulah, YS mendapat surat panggilan dari Kanwil DJP Kanwil Jatim III. Kendati demikian, YS tetap berkeberatan atas kepatuhan wajib pajak dirinya selaku pemilik Pimpinan CV. Sumber Pangan dengan
NPWP 31.8.364.4-6.000
yang dikenakan PPN dengan usaha yang dijalankan.
Selanjutnya, YS menceritakan terkait klarifikasi adanya pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap hasil usaha berupa dedak dan bekatul dari hasil olahan beras yang dijual sebagai bahan pakan ternak.
Ia mengungkapkan aturan pengenaan pajak terhadap satu aturan yang sama seharusnya tidaklah menyimpang dan harus sinkron sesuai dengan aturan undang undang dan Putusan MA. Yakni telah diatur dalam aturan dari PPN berdasarkan PMK 142 PMK.010/2017 dan Udang Undang diatasnya.
“Keberatan saya untuk menjawab panggilan DJP sebenarnya sederhana mas. Yakni, mempertanyakan sikap dan motif dari Direktorat Peraturan Pajak yang dengan sengaja menambahkan kata dalam lampiran PMK 142/PMK.010/2017. Sehingga, dimaknai berbeda dan menimbulkan kerugian dengan dikeluarkannva surat ketetapan pajak untuk membayar PPN tersebut,” ungkapnya.
Padahal, menurut YS
polemik ini berawal dari ulah oknum AR pajak KPP Madya Malang yang mengeluarkan surat himbauan tertanggal 17 Mei 2022.
Isi surat tersebut, lanjut YS menuangkan permintaan keterangan atas wajib pajak untuk membayar PPN atas dedak beras yang dijual sebagai bahan pakan ternak.
Yang perlu diketahui AR
ini juga merupakan petugas pemeriksa pajak saat permintaan keterangan terhadap wajib pajak CV Sumber Pangan ketika terdaftar di KPP Pare, ujar YS.
“Saat menjabat itulah, AR memiliki kewenangan atas permintaan keterangan Wajib Pajak dari CV Sumber Pangan di Pare. AR menjelaskan ke WP bahwa dedak beras yang dijual untuk bahan pakan ternak dibebaskan PPN. Namun, prakteknya justru sebaliknya dan sampai sekarang ini belum ada pembahasan lanjutan,” terang YS mengingatkan.
Sehingga, sambung YS atas ucapan AR yang tidak konsisten itu, sangat merugikan wajib pajak.
Dan kemudian, bergulir dilakukanlah pemeriksan terhadap CV Sumber Pangan dan sampailah menjadi sengketa pajak.
“Klarifikasi itu, saya tempuh upaya mendapat penjelasan relevan dan konsisten sejak dari KPP Pare hingga ke KPP Madya Malang dan Kanwil Jatim III menggunakan acuan surat penegasan yang dikeluarkan oleh Direktorat Peraturan Pajak I yang ditandatangani oleh Bapak Hestu Yoga kala menjabat Kepala Kantor Wilayah Jatim I.
Lebih lanjut YS membeberkan dalam surat penegasan tersebut Direktorat Peraturan Perpajakan mengenakan PPN atas penjualan dedak beras untuk bahan pakan ternak, namun justru membebaskan PPN atas penjualan dedak gandum untuk bahan pakan ternak.
Yang jadi pertanyaan, menurut YS terkait adanya motif pemberlakuan aturan atau perubahan oleh Direktorat Peraturan Pajak, mengapa bahan pakan asal impor seperti dedak gandum malah dibebaskan PPN, sedangkan dedak beras asal lokal malah dikenakan PPN.
“Harapan saya, dari panggilan klarifikasi dan pembahasan dari DJP Jatim yang bertugas di wilayah Jatim, dapat terungkap yang sebenarnya menjadi dasar kepatuhan wajib pajak segera cepat diselesaikan,” tandasnya.
Guna diketahui, terhadap pengenaan PPN atas dedak beras ini juga sangat berdampak pada harga pokok penjualan harga bahan pokok seperti beras rentan tidak stabil.
“Indikatornya jelas,
kenaikan harga bahan baku untuk proses output (produksi), dapat menyulitkan para produsen dalam memproduksi suatu barang sebab produsen mengalami kekurangan dana dikarenakan harga bahan baku mengalami peningkatan,” imbuhnya.
Dan jika hal ini terjadi, YS mencontohkan secara rumus ekonomis, maka produksi barang yang dilakukan produsen mengalami hambatan sehingga barang tersebut lambat produksinya dan bahkan boleh jadi tidak diproduksi lagi. Hal ini tentu berdampak pada produsen itu sendiri yang akan mengalami kerugian.
Tak hanya itu, YS juga sempat menganalisa dan miliki data pembanding yaitu terjadi pada DJP Semarang. Yakni, dedak untuk bahan pakan ternak tidak dipungut pajak, dan kasus serupa tertuang dalam Putusan MA dengan nomer putusan 5302 /B/ PK / PJK / 2020,” Dan kami akan uji materi, agar informasi yang diberikan kepada masyarakat akan lebih jelas dan transparan,” tegasnya.
Sementara pihak DJP III diwakilkan oleh bagian Humas DJP Jatim III melalui bidang rumah tangga, Bambang Irawan kepada awak media menjelaskan sebatas keberadaan WP (Wajib Pajak) adalah dari masyarakat yang sudah wajib melaksanakan kewajiban bayar pajak.
Bambang mengatakan terkait Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah komponen pengurangan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi.
Dan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) sendiri
merupakan batas minimum penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan bagi warga negara Indonesia.
“Berdasarkan batasannya PTKP pemasukan tidak kena pajak yakni Rp 54 juta per tahun dibagi 12 bulan senilai Rp 4,5juta dengan kondisi belum keluarga. Jik dibawah itu tidak dikenakan wajib pajak,” singkatnya menjawab kepada awak media.
Disinggung perolehan restitusi pajak periode tahunan di wilayah Kanwil DJP Jatim III, Bambang hanya menjawab sudah dilakukan konfirmasi dan diproses oleh pihak Humas yang memiliki kewenangan menjawab dan jelaskan. (bob)