blok-a.com – Perburuan satwa liar di Indonesia masih menjadi permasalahan serius. Selain mengancam habitat satwa, perburuan ini juga merubah fungsi lahan dan hutan. Banyaknya praktik kejahatan terhadap satwa liar di Indonesia makin marak dan merusak alam.
Baru-baru ini, perburuan satwa liar memberi dampak buruk pada kebakaran lahan di wilayah lereng Gunung Arjuno.
Founder Profauna Indonesia, Rosek Nursahid mengatakan, walaupun ada penurunan 80 persen dibandingkan tiga tahun yang lalu. Namun, angka perburuan satwa liar masih marak ditemukan di hutan wilayah Malang Raya dan sekitarnya.
Hal itu terbukti saat patroli hutan, ia masih menemukan dua orang pemburu satwa di Gunung Kawi wilayah Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang.
“Dua minggu yang lalu kita mergokin dua orang pemburu satwa di Gunung Kawi, Ngantang. Jadi mereka kepergok kami saat patroli hutan, untuk berburu satwa,” ujarnya pada Blok-a.com, Selasa (29/8/2023).
Selain Gunung Arjuno, beberapa gunung di Jawa Timur ini memang rawan perburuan liar. Salah satunya Gunung Kawi dan Gunung Kelud. Perburuan liar sering terjadi di wilayah gunung ini, terlebih di musim kemarau.
Lantas, Apakah pelaku penangkapan satwa liar dilindungi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak kejahatan dan mendapat jerat hukum?
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (“UU 5/1990”) memberikan definisi satwa, yakni semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat dan/atau di air, dan/atau di udara.
Kemudian, Pasal 20 ayat (1) UU 5/1990 menggolongkan jenis satwa, pasal tersebut berbunyi:
“Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
a. Tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
b. Tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.”
kemudian masuk, Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (“PP 7/1999”) bahwa satwa yang dilindungi adalah sebagaimana terlampir dalam Peraturan Pemerintah, antara lain: Orang Utan, Harimau Jawa, Harimau Sumatera, Badak Jawa, Penyu, dan sebagainya.
Tak hanya itu, larangan perlakuan tidak wajar terhadap satwa dilindungi juga tercatat dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang berbunyi:
“Setiap orang dilarang untuk:
- Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
- Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
- Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
- Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
- Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
Sanksi pidana ini berlaku, bagi orang yang sengaja melakukan pelanggaran, dan tertulis pada Pasal 21 ayat (2), yang berbunyi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 40 ayat [2] UU 5/1990).
Penangkapan satwa dilindungi hanya boleh dilakukan dengan tujuan dan keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
Selain itu, larangan menangkap satwa dilindungi itu dapat dilakukan karena satwa tersebut membahayakan kehidupan manusia, menimbulkan gangguan atau keresahan hidup manusia, atau kerugian materi seperti rusaknya lahan atau tanaman atau hasil. (mg3)