Pasuruan, blok-a.com – Proyek rehabilitasi atap Gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Pasuruan senilai Rp2,2 miliar menuai keluhan. Sejumlah pemasok lokal dan pekerja mengaku belum menerima pembayaran, dengan total tunggakan mencapai lebih dari Rp900 juta.
Masalah ini mencuat setelah salah satu penyedia material bangunan, berinisial HM, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengaku telah menyuplai bahan sejak proyek dimulai pada Juli 2023, namun hingga kini belum menerima pembayaran.
“Saya terus diminta kirim barang, katanya pembayaran menyusul. Tapi sampai sekarang, sudah hampir dua tahun tidak ada kejelasan. Saya masih punya utang bank dan harus membayar pekerja yang ternyata adalah subkon dari subkon,” ujarnya.
Persoalan ini juga mendapat perhatian dari Ketua DPD Jatim Jaringan Warga Peduli Sosial (Jawapes), Sugeng Samiaji.
Ia menilai hal ini berakar dari lemahnya pengawasan dan tanggung jawab dari Dinas PUPR Kota Pasuruan.
“Ini sangat ironis. Rakyat kecil membantu menyukseskan proyek pemerintah, tapi malah menjadi korban. Pemerintah seharusnya hadir menjamin kesejahteraan, bukan menambah beban. Kami mendorong aparat penegak hukum segera turun tangan,” tegas Sugeng.
Sugeng juga menyoroti dugaan kontraktor utama yang gagal menyelesaikan proyek tepat waktu justru mendapat proyek lain, yakni pembangunan Taman Mekkah tahap 3, memakai nama perusahaan berbeda.
“Ini akan kami laporkan ke Presiden, KPK, dan lembaga-lembaga terkait. Tidak boleh ada pembiaran terhadap praktik semacam ini,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PUPR Kota Pasuruan, Gustaf, menyebut pihaknya telah memenuhi kewajiban membayar kontraktor utama.
“Kami sudah bayar lunas ke pemenang tender. Saat ini mereka sedang mengerjakan proyek Taman Mekkah,” ujarnya singkat.
Namun, pernyataan tersebut belum menjawab keresahan para penyedia dan pekerja yang belum menerima hak mereka. Mereka bahkan mengancam akan membawa kasus ini ke jalur hukum dan melakukan audiensi dengan Wali Kota Pasuruan.
Ketika dimintai tanggapan, Sekretaris Daerah Kota Pasuruan, Rudi, hanya memberikan jawaban singkat melalui pesan WhatsApp.
“Prinsip dari pemerintah sudah sesuai,” tulisnya.
Aktivis anti-korupsi, Haji Deny Yanuar, menyayangkan sikap tersebut. Menurutnya, hal itu menunjukkan ketidakpedulian terhadap kerugian yang dialami oleh pemasok dan subkontraktor kecil.
“Pemerintah seharusnya hadir dan bertanggung jawab terhadap rakyat, bukan sebaliknya. Jawaban seperti itu justru menyakiti hati masyarakat yang sedang berjuang untuk keadilan,” ujarnya.
“Kasus ini menjadi peringatan keras. Jangan sampai proyek fisik yang berdiri megah justru dibangun di atas penderitaan rakyat kecil,” tambahnya.
Dugaan adanya rantai subkontraktor hingga ke pihak keempat juga menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas sistem tender dan pengawasan proyek pemerintah.(rah/kim/lio)