Sejarah Alun-Alun Merdeka Malang: Jadi Tempat Protes Rakyat yang Dibentuk Hindia Belanda

Alun-alun Malang (blok-a/helen)
Alun-alun Malang (blok-a/helen)

Kota Malang, blok-a.com – Alun-alun Merdeka Kota Malang yang saat ini menjadi destinasi wisata ternyata menyimpan cerita perjuangan warga Malang untuk keadilan.

Hindia Belanda yang waktu itu baru membentuk pemerintahan tahun 1822 di Malang, juga membentuk Alun-alun Merdeka sebagai simbol pusat pemerintahan.

Ternyata, Alun-alun Merdeka itu dipergunakan sebagai perlawanan rakyat dengan aksi dan protes.

Pemerhati Sejarah Kota Malang, Cahyana Indra Kusuma menjelaskan perlawanan warga Kota Malang di Alun-alun Merdeka itu.

Alun-alun Merdeka awalnya adalah kawasan kosong dengan pepohonan dan dua rumah. Hal itu ditunjukkan dengan arsip nasional tertua.

Dalam peta itu terlihat ada dua rumah di antra pepohonan.

“Ini peta tertua yang menginformasikan bahwa dulu sebelum jadi Alun-alun ada dua rumah di tengah,” kata Cahyana ke blok-a.com, Senin (5/6/2023).

Tapi saat tahun 1822 mulai dibentuk Alun-alun. Tahun itu bertepatan dengan hadirnya Afdeeling Malang (wilayah sebesar Kabupaten) yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda era kepemimpinan Gubernur Van Der Capellen.

Tahun 1822 pemerintah Hindia Belanda mulai menata Alun-alun itu hingga 1824. Kebetulan Alun-alun itu terletak di Jalan Merdeka saat ini karena juga berada di lingkungan pusat pemerintahan pribumi atau pendopo.

“Tahun 1824, dibangun pula rumah dan kantor pimpinan Afdeeling Malang yaitu Asisten Residen Malang. Asisten Residen Malang pertama adalah J.F. Hoffman,” ujarnya.

Tujuan pemerintah Hindia Belanda mulai menata dan membangun Alun-alun Merdeka adalah untuk lokasi gelar pasukan karena letak alun-alun itu berada di sekitaran gedung utilitas seperti penjara, rumah ibadah, sekolah dan pendopo.

“Serta lokasi multfungsi lainnya sebagai salah satu fasilitas umum. Intinya sebagai tanda pusat pemerintahan,” tuturnya.

Waktu itu, Malang sendiri ada dua pemimpin, pertama adalah pimpinan Bupati Malang yang waktu itu diemban R.T Notodiningrat I. Kedua adalah Asisten Residence yang diemban J.F Hoffman.

Fungsinya untuk Bupati Malang adalah pengawasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Asisten Residen dari Hindia Belanda berorientasi mengelola Sumber Daya Alam (SDA).

Pohon beringin Alun-alun Merdeka Malang (dok. Arsip Nasional)

Nah, dengan adanya dua pemimpin itu, Alun-alun Merdeka Malang juga digunakan sebagai ruang komunikasi antara rakyat dengan pimpinan mereka.

Biasanya rakyat atau masyarakat Malang akan berkumpul di Alun-alun Merdeka untuk menyampaikan aspirasi atau protes.

Yang mendengar aspirasi mereka adalah bukan pimpinan Hindia Belanda atau Asisten Residen Malang, namun Bupati Malang.

“Untuk aspirasi Bumiputera (warga Malang) yang menampung adalah pimpinan Bumiputera dalam hal ini bupati atau regent sekaligus penanggungjawab SDM,” jelasnya.

Biasanya, Bupati atau yang mewakili akan ke Alun-alun Merdeka untuk mendengar keluhan rakyat Malang.

“Analoginya ya mirip raja-raja menerima rakyatnya di sebuah pertemuan yang dilakukan setiap akhir minggu atau hari Sabtu,” kata dia.

Biasanya saat menyampaikan aspirasi atau protes, warga Malang melakukannya dengan cara berjemur di terik matahari. Mereka akan berjemur hingga aspirasi atau materi protesnya ditanggapi Bupati Malang.

“Kalau menyampaikan aspirasnya/protes mereka melakukan ‘Prosesi Pepe’ berjemur di alun-alun hingga materi protesnya diterima pimpinan daerahnya,” kata dia.

Protes yang disampaikan waktu itu, kata Cahyana adalah tentang konflik agraria. Contohnya adalah penggelapan atau mark up sewa tanah.

“Biasanya konflik agraria misalnya sewa tanah dari pamong praja yang tidak sesuai,” jelasnya.

Selain untuk menyampikan aspirasi, Alun-alun Merdeka juga digunakan sebagai tempat jual beli.

Pedagang di Alun-Alun Merdeka Malang (dok. Arsip Nasional)
Pedagang di Alun-Alun Merdeka Malang (dok. Arsip Nasional)

Fungsi Alun-alun Merdeka sebagai sarana protes atau sampaikan aspirasi itu berlanjut berpuluh-puluh tahun.

Namun kadang Alun-alun Merdeka juga tidak digunakan untuk menyampaikan aspirasi atau protes.

Hal ini tergantung pimpinannya waktu itu.

“Tergantung pimpinannya ada yang demokratis dan dekat dengan rakyat dan ada yang otoriter,” kata dia.

Sementra itu, Alun-alun Merdeka Malang tidak dijadikan rakyat untuk protes lagi karena sudah ada lembaga yang bernama DPRD Kota Malang.

Kekinian biasanya demo akan dilakukan di sekitar Alun-alun Tugu Malang.

“Di samping saat era Orde Baru dalam menyampaikan pendapat atau aspirasi mengalami ketakutan,” kata dia.

Sementara itu, hingga dulu sampai sekarang, bentuk Alun-alun Merdeka tetap sama. Bentuknya tetap persegi.

Alun-aluj Jaman Dulu (ist.)

“Bentuknya menurut pakem Mataram memang kotak karena filosofi arah,” tuturnya.

Yang berbeda adalah isinya, dulu ada trem, dan pepohonan beringin tiap sisinya serta hanya tanah luas untuk menampung massa.

“Saat ini ditanam macam-macam vegetasi,” tuturnya.

Itulah sejarah singkat tentang fungsi awal terbtuknya Alun-alun Merdeka Malang. (bob)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?