Kota Malang, Blok-a.com – Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di tepi jalan Kota Malang mengundang pro dan kontra. Sebab, meski sebagian orang merasa dirugikan dan terganggu, nyatanya tidak sedikit pula yang merasa terbantu.
Salah satu lokasi yang banyak dipilih PKL untuk berjualan adalah di sepanjang jalan Surabaya Dalam, Sumbersari, Kota Malang. Lokasi di depan Kampus Universitas Negeri Malang (UM) ini menjadi sentra PKL ‘tak resmi’ beberapa tahun belakangan.
Disebut tidak resmi, karena para pedagang memang belum mengantongi izin dari Pemerintah setempat. Beberapa hanya meminta izin kepada pengurus RT dan RW setempat untuk menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat berjualan.
Pedagang PKL sempat menceritakan pengalamannya kepada tim Blok-a.com. Salah satunya penjual telur gulung keliling, Haris. Ia senang berjualan di Jalan Surabaya karena tempatnya strategis.
“Awal mulanya soalnya kalau kayak kampus, sekolah kan anak-anak suka jajan, jadi strategis tempatnya lah gitu. Jadi saya jualan di sini cari yang strategis gitu cari yang suka jajan, rame,” terang Haris.
Tidak hanya Haris, Tita dan suami yang juga berjualan di Jalan Surabaya memaparkan kelebihan jualan di situ.
“Awal mulanya itu karena apa ya cari cari tempat susah, terus akhirnya ketemu tempat ya disini, cocoknya di sini,” ungkapnya.
Dari sudut pandang pedagang kaki lima, tentu saja mereka membutuhkan lokasi berjualan strategis. Sehingga produk dagangannya bisa terjual habis, guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun, bagaimana dengan dampak kehadiran mereka secara umum? Apakah keberadaan mereka mendapatkan dukungan, atau bahkan ada pihak yang malah merasa terganggu?
PKL Memudahkan Mahasiswa Mengisi Perut
Pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Surabaya Dalam menyediakan berbagai pilihan konsumen. Pasalnya, yang mereka jajakan cukup bervariasi seperti, cimol, telur gulung, aneka minuman es dan kopi, hingga jajanan viral kesukaan mahasiswa.
Riska Ramadhan (19), mahasiswi UM menuturkan bahwa kehadiran para pedagang PKL memberikan kemudahan baginya untuk membeli jajanan dengan uang tunai. Sebab di area dalam kampus, penjual makanan hanya menggunakan metode pembayaran dengan uang digital.
“Keberadaannya menurut saya cukup ini ya. Cukup membantu ketika kita mau beli
sesuatu yang gak ada di UM ataupun misalkan sekarang di UM pembayarannya harus
melalui QRis gitu ya. Kalau di kantin-kantin jadi kalau misalkan kita lagi gak ada uang di
QRis, kita bisa beli di sini,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan salah seorang penjaga keamanan di kampus UM, Hanafi (32). Ia menuturkan bahwa PKL tersebut sangat membantu anak-anak. Khususnya mahasiswa, lebih mudah untuk membeli makan, jajanan, dan minuman.
“Plusnya biar anak-anak itu mudah buat beli makan, beli jajan, beli minuman lah kayak
biar nggak jauh, terus kan rata-rata anak-anak kosnya dekat-dekat sini jadi sekalian
pulangnya,” ungkapnya.
Berbeda dengan Riska dan Hanafi. Henry (23), pengguna jalan yang juga seorang mahasiswa mengungkapkan pendapatnya. Ia menyoroti penyebab hadirnya para pedagang PKL di Jalan Surabaya Dalam, yakni akibat keterbatasan lapangan kerja formal.
Seorang pengguna jalan sekaligus mahasiswa, Henry (23) menuturkan bahwa PKL-PKL
yang ada di Jalan Surabaya Dalam tersebut termasuk dalam UMKM.
“Karena ini kan masuk ke UMKM. Nah jadi kalau bisa harapannya dari Pemkot ya kalau bisa ya buat lah dan menyediakan tempat gitu, tapi dengan apa namanya catatan pertimbangannya itu apa namanya tempatnya harus strategis,” jelas Henry
PKL Memang Membantu, Tetapi Juga Merugikan
Memang, beberapa orang, khususnya mahasiswa merasa terbantu dengan adanya PKL tersebut. Namun, ada pula yang menilai bahwa hal ini juga memunculkan dampak negatif.
Berdasarkan pantauan tim Blok-a.com di lapangan, beberapa pengguna jalan menyayangkan soal pedagang yang kurang menjaga kebersihan. Salah satunya Dewi Salamah (42) yang kerap menjadi pelanggan PKL di sini.
Ia mengungkapkan perilaku sebagian besar pedagang yang tidak membersihkan sampahnya masing-masing usai berjualan.
“Kalau minusnya sih kadang ya, kalau udah selesai itu nggak dibersihkan gitu loh, kotor,” ujar Dewi Salamah.
Selain kebersihan, dampak negatif lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah kemacetan. Pengguna jalan seperti ojol dan mahasiswa kadang juga mengeluhkan lalu lintas yang macet.
Utamanya hal ini akibat perilaku para pembeli yang kurang tertib, serta parkir liar yang hampir memakan sisi jalan utama.
“Terganggunya biasanya karena pengunjungnya ramai jadi macet pas Ramadan,” ujar ojek online, Agus.
Henry pun menambahkan biasanya pengunjung atau pembeli tidak memarkir atau menaruh motornya dengan benar. Sehingga, tak jarang terjadi kemacetan atau mengganggu jalannya lalu lintas.
“Tapi dia harus parkirnya tertib gitu. Jangan di, apa namanya, melebih kapasitas jalan gitu. Itu yang mengganggu kalau menurut saya. Tapi selagi dia parkirannya bagus, rapi, yang nggak masalah sih,” tambah Henry.
Lebih lanjut, pihak keamanan kampus juga mengeluhkan kemungkinan terjadinya kegaduhan akibat pedagang yang bersitegang.
“Minusnya ya bikin macet, terus kan sering ya kesenjangan lah, kadang ada yang dari kampung ke sini bertengkar terus bikin kegaduhan lah kayak di jalan raya, terus banyak operasi atau obrakan dari Satpol PP nya,” ujar Hanafi. (mg4/lio/gni)