Kasus Dugaan Perundungan Pelajar SMP di Banyuwangi Masuk ke Tahap Penyidikan

Kasatreskrim Polsresta Banyuwangi, Kompol Agus Subarnapraja saat memberikan

Banyuwangi, blok-a.com – Proses hukum dugaan penganiayaan dan perundungan siswa kelas VIII SMPN 4 Banyuwangi, RDA, terus bergulir. Saat ini, Satreskrim Polresta Banyuwangi telah meningkatkan status kasus tersebut ke tahap penyidikan.

Kasatreskrim Polresta Banyuwangi, Kompol Agus Sobarnapraja mengatakan, naiknya status dari penyelidikan ke penyidikan ini didapat setelah polisi melakukan gelar perkara.

Hingga kini polisi telah memeriksa 7 saksi. Meski begitu belum ada yang ditetapkan tersangka dalam kasus tersebut.

“Hasil gelar perkara menyatakan status kasus naik menjadi penyidikan. Penyidik telah memeriksa 7 orang saksi. Salah satunya korban berinisial RDA (13) siswa kelas VIII SMPN 4 Banyuwangi,” kata Kompol Agus Sobanapraja.

Setelah peningkatan status tersebut, pihak kepolisian akan memanggil kembali saksi-saksi untuk memperkuat alat bukti.

Tentang penetapan tersangka, hal tersebut akan tergantung pada hasil penyidikan yang masih berlangsung.

Pelaku dan Korban Masih di Bawah Umur

Ada beberapa alat bukti utama yang telah dimiliki oleh kepolisian. Salah satunya, video perkelahian di salah satu tempat kejadian perkara, yakni di area sekolah.

“Video kejadian juga sudah kami dapatkan,” ungkapnya.

Mengingat melibatkan anak-anak, pihaknya akan memproses kasus tersebut berdasarkan undang-undang sistem peradilan pidana anak.

“Kami akan berpedoman pada hukum acara khusus yang diatur dalam undang-undang sistem peradilan pidana anak. Yang tentunya ada beberapa hal yang tidak sama perlakuannya dengan pelaku dewasa,” tandasnya.

Sementara itu, Plt Asdep Pelayanan Anak yang Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) Kemen PPPA, Atwirlany Ritonga meminta, agar penegak hukum lebih jeli dan berhati-hati dalam mengambil langkah penyidikan.

Sebab, baik terduga pelaku maupun korban sama masih berusia di bawah umur. Artinya disebut sebagai anak konflik hukum (AKH).

“Anak pelaku ya harus dihukum, tidak bisa seperti itu. Pada hakekatnya AKH adalah korban. Korban dari lingkungan yang salah, korban dari pengasuhan,” kata Atwirlany Ritonga, Rabu (18/10/2023).

Memang, kekerasan terhadap anak sebagaimana di atur dalam pasal 80 ayat 2 Jo pasal 76 C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak dengan pidana penjara paling lama (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Namun menurutnya, penyelesaiannya tidak serta merta kaku menggunakan regulasi tersebut.

“Namun mengingat korban dan AKH masih anak-anak, maka perlu berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pasal 3 UU SPPA telah mengatur hak anak selama proses peradilan,” tambahnya.

Upaya Diversi

Dalam pasal 5 ayat (1) dan (3) UU Nomor 11 tahun 2012 bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Maka dalam kasus ini, pihaknya mendorong untuk diupayakan diversi.

“Sebab ancaman tindak pidana yang dilakukan AKH di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pasal 7 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2012 Tentang SIstem Peradilan Pidana Anak,” paparnya.

Lebih lanjut, wanita yang lebih akrab disapa Lany itu menambahkan, dalam aturan tersebut juga disebutkan bila penangannya juga ditentukan berdasarkan usia.

Bila usia AKH di bawah 14 tahun penangannya yakni dikembalikan kepada orang tua dengan pengawasan dari Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Berbeda ketika usianya 14 tahun atau diatasnya, maka dapat dikenai tindakan pembinaan LPKA. Namun dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi.

“Pertimbangan hasil litmas BAPAS dan laporan sosial oleh peksos juga menjadi syarat yang menentukan untuk proses penanganannya,” tandas Lany.

Seperti diberitakan sebelumnya, dugaan perundungan tersebut awalnya dilakukan oleh teman sekolah korban di belakang ruang kelas.

Salah satu kuasa Hukum Keluarga Korban, Nur Abidin, mengatakan, menurut keterangan keluarga korban, terduga pelaku B awalnya menganiaya korban di balakang kelas 7B.

Usai kejadian itu, korban berniat menemui kembali pelaku untuk minta maaf dan mengajak berdamai. Namun justru sepulang salat Jumat, korban kembali dihajar di belakang gedung wanita, tak jauh dari masjid.

Penganiayaan kali ini membuat korban mengalami retak tulang hingga harus dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani operasi.(kur/lio)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?