Kota Malang, blok-a.com – Ratusan massa yang tergabung dalam kelompok ‘Malang Turun ke Jalan‘ menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang (UU) TNI di depan Balai Kota Malang, Minggu (23/3/2025).

Massa berpakaian serba hitam mulai berkumpul sekitar pukul 16.10 WIB. Dalam aksi tersebut, mereka menggelar teatrikal dengan menggambar rekonstruksi tubuh di atas aspal menggunakan kapur, menyerupai tanda korban kecelakaan.
Berbagai spanduk dan tulisan bernada kritik juga tampak memenuhi jalanan, di antaranya bertuliskan “1312 Fuck Cops and Military,” “Republik Kandang Babi,” “ORBAck,” serta “Kebebasan di Bawah Naungan Senjata.”

Setelah berbuka puasa, situasi aksi semakin memanas. Sekitar pukul 18.34 WIB, massa mulai menyalakan petasan dan membakar ban.

Aksi berlanjut perusakan pos penjagaan, hingga pelemparan molotov. Massa juga merusak rambu-rambu lalu lintas serta fasilitas di sekitar Gedung DPRD Kota Malang.

Sebagai respons, aparat kepolisian mengerahkan personel tambahan serta menggunakan water cannon untuk membubarkan massa.
Sekitar pukul 19.00 WIB, massa mulai tercerai-berai dan sebagian besar meninggalkan lokasi. Polisi kemudian melakukan sweeping untuk memastikan area sekitar Gedung DPRD steril dari demonstran.

Aksi demo di Kota Malang yang berujung ricuh ini mendapat sorotan nasional. Di media sosial X, massa melaporkan sejumlah korban luka membutuhkan bantuan ambulans.
Aksi Tolak UU TNI di Berbagai Kota
Unjuk rasa menolak revisi UU TNI tidak hanya terjadi di Malang, tetapi juga di sejumlah kota lain. Aksi pertama berlangsung di Jakarta pada Kamis (20/3/2025) di depan Gedung DPR/MPR RI, Senayan, yang berujung bentrokan antara massa dan aparat.

Aksi penolakan UU TNI yang berakhir ricuh juga terjadi di Manado, Yogyakarta, Semarang, dan Bandung hingga Jumat (21/3/2025).
Walaupun mendapat penolakan luas dari masyarakat, DPR tetap mengesahkan revisi UU TNI dalam rapat paripurna pada Kamis (20/3/2025) pagi. Mahasiswa dan pegiat prodemokrasi di sejumlah daerah menggelar unjuk rasa sebagai bentuk protes atas keputusan tersebut.
Revisi UU TNI 2025 mendapat kritik tajam karena dinilai berpotensi memperkuat dominasi militer dalam sektor sipil dan politik.

Sejumlah pasal dianggap kontroversial, termasuk perluasan jabatan bagi prajurit TNI aktif di lembaga pemerintahan dari 10 menjadi 16 posisi. Selain itu, usia pensiun prajurit TNI diperpanjang menjadi 55-62 tahun, sementara jumlah tugas operasi militer selain perang bertambah dari 14 menjadi 17 tugas.
Massa aksi menegaskan tujuh tuntutan utama dalam demonstrasi mereka. Di antaranya menolak revisi UU TNI, menolak dwifungsi militer, menarik militer dari jabatan sipil dan mengembalikan TNI ke barak, menuntut reformasi institusi TNI, membubarkan komando teritorial, mengusut tuntas korupsi dan bisnis militer, serta menolak keterlibatan militer dalam kehidupan sipil.
Masyarakat khawatir bahwa pengesahan UU ini tanpa kajian matang dan partisipasi publik yang luas dapat mengembalikan peran dwifungsi militer, seperti yang terjadi pada era Orde Baru, terutama di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Hingga saat ini, gelombang protes terhadap revisi UU TNI terus berlanjut, berbagai elemen masyarakat menyerukan agar pemerintah meninjau kembali keputusan tersebut.(lio)