Blok-a.com – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR belakangan ini menuai kritik dari berbagai pihak terutama kalangan komunitas pers.
Penolakan atas pembahasan RUU Penyiaran itu muncul karena adanya beberapa pasal yang dinilai mengekang kebebasan pers di Indonesia.
Banyak pihak yang khawatir RUU ini berpotensi menjadi alat kekuasaan serta politik oleh pihak tertentu untuk mengebiri praktik jurnalistik yang profesional dan berkualitas.
Dirangkum Blok-a.com, Rabu (16/5/2024), berikut deretan pasal dalam RUU Penyiaran yang menjadi sorotan.
- Pasal 42 ayat 2 (KPI Urusi Sengketa Pers)
Salah satu pasal dalam RUU Penyiaran yang menjadi sorotan adalah Pasal 42 ayat 2. Pasal tersebut memberi wewenang pada KPI untuk menyelesaikan sengketa dalam pengawasan isi siaran dan konten siaran.
“Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 42 ayat 2 RUU Penyiaran.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan UU Pers 40 Tahun 1999 yang menyebut bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers. - Pasal 50 B ayat 2 huruf c (Larang Jurnalistik Investigasi)
Selanjutnya, Pasal 50 B ayat 2 huruf c juga menjadi kontroversi lantaran melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Hal ini dianggap dapat menjadi ancaman kebebasan pers.
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai (…) c. Penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” tulis Pasal 50 B ayat 2 huruf c. - Pasal 50 B ayat 2 huruf k (Larang Siaran Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik)
Kontroversi ketiga RUU Penyiaran yakni di Pasal 50 B ayat 2 huruf k. Pasal ini membahas penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Pasal ini dianggap multitafsir dan berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis atau pers.
“Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme.” Bunyi Pasal 50 B ayat 2 huruf k. - Pasal 51E (Penanganan Sengketa Pers)
Beberapa pihak juga menyoroti Pasal 51E yang menyebutkan apabila terjadi sengketa akibat keputusan KPI, maka bisa diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Komunitas Pers Menolak
RUU Penyiaran ini pun mendapat penolakan dari sejumlah komunitas pers, seperti Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan lainnya.
Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu menganggap RUU Penyiaran ini akan mengekang kemerdekaan pers dan melahirkan produk jurnalistik yang buruk.
“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ninik dilansir dari laman resmi Dewan Pers.
Senada, Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, juga meminta beberapa draf RUU yang kontroversial dicabut karena dinilai akan merugikan publik secara luas. Ia mengusulkan agar draf tersebut disusun ulang dari awal dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan.
Pendapat yang sama juga diutarakan Ketua Umum AJI, Nani Afrida. Nani berpendapat bahwa jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dalam karya jurnalistik. Oleh karena itu, jika dilarang, kualitas jurnalistik akan hilang.
Penolakan terhadap RUU tersebut juga disampaikan oleh Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan semua konstituen Dewan Pers.
Tanggapan DPR
Terkait polemik yang terjadi, anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin, mengatakan bahwa RUU Penyiaran bukanlah produk final. Politikus Golkar ini menyebut masih dimungkinkan adanya sejumlah perubahan nantinya.
“RUU yang beredar bukan produk yang final, sehingga masih sangat dimungkinkan untuk terjadinya perubahan norma dalam RUU Penyiaran,” ujar Nurul.
Nurul juga menegaskan tak ada tendensi untuk membatasi kebebasan pers dalam RUU tersebut. Ia mengatakan RUU itu masih dibahas dan terbuka menerima masukan dari mana pun.
“Komisi I DPR RI terus membuka diri terhadap masukan seluruh lapisan masyarakat terkait RUU Penyiaran karena RUU masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI,” sambungnya. (hen)