Komunitas Seni Rupa Lompat Pagar dari Malang Tembus Panggung Internasional

Pameran seni rupa Lompat Pagar #2 di Dewan Kesenian Malang (DKM).(dok. blok-a.com)
Pameran seni rupa Lompat Pagar #2 di Dewan Kesenian Malang (DKM).(dok. blok-a.com)

Kota Malang, blok-a.com – Komunitas seni rupa asal Kota Malang, Lompat Pagar, terus menunjukkan kiprahnya di dunia seni, bahkan hingga ke kancah internasional.

Berawal dari sebuah tema pameran pada tahun 2024, Lompat Pagar kini berkembang menjadi wadah kreatif bagi puluhan seniman lintas kota yang berani menembus batas gaya dan medium seni rupa.

“Kita masing-masing sudah punya pakem sendiri-sendiri, ada yang surealis, kontemporer, abstrak. Lewat Lompat Pagar, kita menantang diri keluar dari kebiasaan itu,” ujar Wawan, salah satu perupa yang menggagas kegiatan tersebut.

Awalnya, Lompat Pagar hanyalah tema pameran yang digagas sekelompok seniman di Malang.

Pameran perdana mereka menampilkan karya hitam putih berukuran sama dari berbagai seniman. Meski tampak seragam, karakter tiap perupa tetap terlihat kuat. Eksperimen ini melahirkan kesadaran baru bahwa batas dalam seni hanya ada sejauh seseorang berani melompatinya.

Keberhasilan pameran tersebut melahirkan semangat kolektif baru. Para seniman yang terlibat sepakat menjadikan Lompat Pagar sebagai komunitas tetap.

“Kami sering berkumpul, berdiskusi, dan akhirnya sepakat menjadikan Lompat Pagar sebagai komunitas,” kata Wawan.

Kini, komunitas ini beranggotakan sekitar 47 seniman, sebagian besar berdomisili di Malang, namun ada pula yang berasal dari Yogyakarta dan Bandung.

Pertemuan rutin mereka biasanya dilakukan di rumah Munir di Jalan Cisadane No. 11, yang menjadi markas kecil tempat berbagai ide dan rencana pameran dibahas bersama.

Nama-nama seperti Teguh Niswantoro (ketua pelaksana), Tomi, Atmi, Ilyas, dan Boeing dikenal sebagai penggerak utama yang menjaga ritme komunitas tetap hidup.

Bahkan, dari ruang sederhana di Malang, langkah Lompat Pagar kini merambah ke luar negeri. Setelah berpameran di Studio Kalahan milik seniman Heri Dono di Yogyakarta, mereka melangkah lebih jauh dengan menggelar pameran di Minneapolis, Amerika Serikat.

“Bagi mereka di sana, karya dari timur terasa sangat eksotis,” ungkap Wawan.

Respons positif dari publik luar negeri menjadi bukti bahwa karya perupa Malang mampu bersaing di panggung global.

Karya-karya mereka membawa nuansa khas Indonesia Timur yang hangat dan berani, memberi warna segar bagi penikmat seni di luar negeri.

Tak berhenti di situ, komunitas ini tengah menyiapkan langkah berikutnya dengan menggelar pameran di Jakarta. Upaya ini dilakukan untuk memperluas jangkauan sekaligus memperkenalkan karya mereka kepada publik seni nasional.

“Secara pribadi beberapa anggota sudah sering tampil di sana, tapi sebagai komunitas kami belum. Rencananya kami akan patungan untuk menyewa tempat,” tutur Wawan.

Semangat mandiri dan gotong royong menjadi fondasi utama gerakan seni ini. Meski berkembang pesat, perjalanan Lompat Pagar juga tak ringan. Tantangan utama datang dari kesulitan menyatukan waktu dan komitmen antaranggota.

“Menyinkronkan jadwal 30-an orang itu sulit. Kadang rapat sudah dijadwalkan, tapi yang datang cuma separuh. Ya sudah, jalan terus dengan yang ada,” kata Wawan sambil tertawa.

Namun keterbatasan justru membuat semangat mereka semakin kuat. Bagi komunitas ini, gerakan seni ini mengutamakan konsistensi untuk terus berkarya bersama.

Adaptif terhadap Teknologi

Di tengah derasnya pengaruh digitalisasi, para anggota Lompat Pagar tetap yakin pada kekuatan seni manual.

“AI punya segmen sendiri. Kami yang perupa tetap mengandalkan skill manual. Tapi kita bisa ambil sisi positifnya, mungkin sebagai sumber ide atau inspirasi,” jelas Wawan.

Bagi mereka, teknologi hanyalah alat, sementara jiwa seni tetap lahir dari tangan dan intuisi manusia. Selain seni rupa, beberapa anggota komunitas juga aktif di bidang musik dan multimedia.

Hal ini membuka peluang kolaborasi lintas disiplin di masa depan. Dengan tema terbaru bertajuk “Lintas Zaman, Arus Budaya”, mereka berusaha membaca dinamika kehidupan modern tanpa meninggalkan akar lokalitasnya.

Dari Kota Malang, komunitas ini membawa pesan bahwa seni sejati tidak mengenal pagar pembatas, justru menjadikannya jembatan menuju ruang-ruang baru dalam perjalanan kreatif tanpa batas.(mg2/lio)

Penulis: Muhammad Naufal Abiyyu (mahasiswa magang UTM Bangkalan)