Surabaya, blok-a.com – Usaha kecil mikro dan menengah digadang jadi dewa penyelamat ekonomi nasional. Tapi sayang 74,5 persen UMKM tak disentuh permodalan pemerintah.
UMKM yang tidak terfasilitasi modal pemerintah dan bank pemerintah masih tinggi. Artinya UMKM masih belum dipercaya.
Menurut data BPS, sekitar 64,5 juta UMKM di seluruh dan 9,78 juta di antaranya ada di Jawa Timur.
Tiap tahunnya, sektor ini memberi kontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan jumlah pengangguran di Indonesia.
Bahkan menurut Advisor Bank Indonesia Kantor Perwakilan Provinsi Jawa Timur, Muslimin Anwar, hingga 2022 UMKM di Indonesia berkontribusi sebesar Rp7.034 triliun atau sekitar 60,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sedangkan di Jawa Timur kontribusinya sebesar Rp1.034,31 triliun atau sekitar 58,4 persen.
Sementara dari sisi penyerapan tenaga kerja sebesar 119,56 juta secara nasional dan 13,80 juta tenaga kerja di Jatim.
Ketertinggalan UMKM ini dianggap kurangnya SDM pengetahuan, dan keterbatasan infrastruktur.
Indonesia sendiri memiliki potensi basis ekonomi nasional yang kuat karena jumlah UMKM sangat banyak dan daya serap tenaga kerja sangat besar.
Berkaca hal tersebut, Selasa (12/9/2023) PWI Jatim didukung Bank BNI Wilayah 06 Surabaya menggelar Focuss Group Discussion dengan tajuk “Peran Bank Indonesia dalam Mendorong Pengembangan UMKM.”

Pembicaranya Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim dan Advisor Kantor Perwakilan BI Jatim Muslimin Anwar.
Menurut Anwar, UMKM masih menghadapi sejumlah tantangan seperti akses pembiayaan, korporatisasi dan kapasitas.
Untuk ekspor pun, produk UMKM juga masih menghadapi sejumlah tantangan seperti belum optimalnya pemenuhan kualitas, kuantitas dan kontinuitas, belum memerhatikan syarat sertifikasi produk negara tujuan, kemampuan bahasa asing yang terbatas, keterbatasa SDM, terbatasnya pemahaman UMKM mengenai market intelligence serta belum sesuainya brand image dengan trend konsumen di pasar ekspor.
Di era digitalisasi seperti sekarang, baru sekitar 25,5 persen UMKM yang memanfaatkan marketplace.
Dan 77,7 persen UMKM mengalami kendala pemasaran online antara lain karena kurangnya pengetahuan, SDM dan keterbatasan infrastruktur.
“Karena itu Bank Indonesia mendorong perbankan untuk mendukung penguatan UMKM melalui berbagai regulasi,” ujarnya.
Dari sisi makroprudensial, Bank Indonesia mewajibkan perbankan menyalurkan kredit UMKM.
Jika sebelumnya kredit UMKM dengan pangsa pasar sebesar minim 20 persen, sejak Juni 2023 ditingkatkan menjadi 25 persen dan akan kembali ditingkatkan menjadi 30 persen mulai Juni 2024.
Kemudian dari sistem pembayaran, Bank Indonesia mendorong Digitalisasi UMKM melalui e-farming dan on boarding melalui e-commerce.
“Untuk pendukung sisi financing, BI meluncurkan Siapik yaitu aplikasi digital bagi UMKM untuk penyusunan laporan keuangan sebagai referensi bank dalam menganalisis kelayakan pembiayaan. Yg terakhir juga QRIS UMKM,” jelasnya.
Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim mengatakan, sampai saat ini sektor UMKM masih mengalami sedikit ketimpangan perhatian dari pemangku kebijakan terutama dalam porsi kredit dibanding dengan korporasi besar.
Di antara negara-negara tetangga lainnya, penyaluran kredit UMKM Di Indonesia Masih sangat rendah, sekitar 20-21 persen dari total pembiayaan perbankan.
Jauh lebih rendah dibandingkan Singapura 39 persen, Thailand 50 persen, Malaysia 51 persen, Jepang 66 persen, Korsel 81 persen dan Australia 29 persen.
Ia berharap pihak terkait bisa meniru Korea dalam membesarkan industri kecil dan kreatif di negaranya.
“Korea berhasil menjadikan industri kecil menengah dan industri kreatif sebagai backbone perekonomian negaranya. Beberapa strategi yang mereka jalankan yaitu Smart SME’s, K brand, Inclusive companies program dan global colaboration. Keempat strategi itu membuat UMKM Korea lebih kuat,” pungkasnya.(kim)