Kota Malang, blok-a.com – Kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menyeret nama PT NSP di Malang terus menjadi sorotan. Dewan Pertimbangan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Malang, Dina Nuryati, menyatakan keprihatinannya terhadap praktik penempatan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang penuh ketidakadilan, eksploitasi, hingga penganiayaan.
Menurut Dina, praktik eksploitasi terhadap CPMI masih kerap terjadi, bahkan hingga menimbulkan tekanan psikologis berat pada para korban.
“Kami mendapat pengaduan ini pada Maret lalu. Ada penganiayaan, eksploitasi kerja tanpa upah, bahkan pelanggaran berat yang mengarah pada perbudakan modern,” ungkapnya, Senin (28/4/2025).
Dina mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menjatuhkan hukuman berat terhadap para terdakwa, yakni HNR dan AD, serta menangkap ROY yang merupakan suami HNR, atas dugaan eksploitasi pekerja migran. Ia juga meminta agar kasus penganiayaan yang dialami salah satu korban segera diproses hingga dinyatakan lengkap (P21).
2 Tersangka TPPO di Malang Jadi Tahanan Titipan, Terancam Belasan Tahun Penjara
“Kami juga mendesak APH untuk mengusut jaringan perdagangan orang, agen ilegal yang terlibat, serta mengembalikan hak-hak korban, baik material maupun immaterial,” tegasnya.
Selain itu, Dina menekankan pentingnya pembentukan layanan terpadu satu atap di wilayah-wilayah kantong buruh migran untuk memastikan proses rekrutmen dan pelatihan dilakukan sesuai standar dan bebas dari praktik eksploitasi.
“Kami dari SBMI akan terus mengawal kasus ini hingga keadilan ditegakkan. Negara harus hadir melindungi warganya,” ujarnya.
Dalam paparannya, Dina menjelaskan bahwa sebanyak 47 CPMI menjadi korban dalam kasus ini. Mereka direkrut untuk diberangkatkan ke Hongkong dan diminta menyerahkan dokumen-dokumen penting seperti KTP, KK, ijazah, dan akta kelahiran. Namun setelah itu, mereka justru ditahan dan dieksploitasi.
“Setelah penggerebekan oleh pihak kepolisian, pemberangkatan mereka dibatalkan. Para korban kini menuntut ganti rugi sebesar Rp15 juta per orang atas kerugian materiil dan waktu yang terbuang,” jelasnya.
Cerita pilu korban turut menguatkan betapa berat penderitaan yang dialami. H, korban asal Malang, mengaku mengalami kekerasan fisik saat bekerja di rumah HNR, mulai dari dipaksa mencium kencing anjing, disiram mie panas, hingga disiram kopi panas.
“Saya hanya ingin keadilan. Enam bulan lebih proses hukum berjalan tapi belum juga P21,” keluhnya.
Di sisi lain, L, korban asal Palembang, mengungkapkan bahwa dirinya dan teman-temannya dipaksa bekerja di warung milik ROY hingga 17 jam per hari tanpa upah, bahkan harus mengupas 20 kilogram bawang per orang setiap harinya.
“Kami diperlakukan seperti budak. Tidak digaji, hanya takut kalau tidak diberangkatkan ke luar negeri,” tuturnya.
Akibat kasus ini, L kini mengalami tekanan ekonomi berat dan harus bekerja sebagai pembantu rumah tangga dengan upah Rp 1 juta per bulan.
Korban lainnya, R, berharap agar para pelaku segera dihukum. Dengan menangis, ia tidak ingin kasus ini menguap begitu saja.
“Kami sudah berjuang keras. Tolong jangan biarkan kasus ini hilang begitu saja,” ungkapnya. (yog/bob)