Blitar, blok-a.com – Kabupaten Blitar mendapatkan alokasi dana transfer sebesar Rp126 miliar, dengan bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) untuk tahun 2024. Hal ini deketahui pasca disetujuinya R-APBN Tahun 2024 dalam paripurna DPR RI tanggal 21 September 2023 lalu.
Dana Rp126 miliar tersebut, peruntukannya sudah jelas yaitu untuk dukungan penggajian formasi PPPK, pendanaan kelurahan, dan pendanaan layanan publik bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum.
Menurut informasi yang dihimpun dari sumber di lingkup Pemkab Blitar, dana Rp126 miliar tersebut diduga akan dipakai untuk melemahkan pansus hak angket dan hak interpelasi yang diajukan DPRD Kabupaten Blitar.
Dimana pansus hak angket yang diajukan itu, untuk mengungkap polemik sewa rumah dinas wakil Bupati Rahmat Santoso.
Terungkap rumah yang disewa untuk rumdin wabup adalah rumah pribadi Bupati Blitar Rini Syarifah, dan ironisnya rumdin wabup tersebut ditempati Bupati Blitar dan keluarganya, yang seharusnya ditempati Wabup Blitar.
Dimana untuk sewa rumdin tahun 2021 dan 2022 atau 20 bulan, Pemkab Blitar telah mengeluarkan anggaran sebesar Rp490 juta.
Namun, hal itu dibantah oleh Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Kurdiyanto.
Kurdiyanto mengatakan, dana tersebut peruntukakannya jelas, dan tidak bisa digunakan untuk hal lain, apalagi menjadi dana pokir.
“Bukan pokir mas, itu DAU yang ditentukan. Itu dana buat gaji PPPK dan kenaikan gaji ASN sebesar 8 persen yaitu sesuai rincian alokasi transfer daerah 2024,” kata Kurdiyanto, Jumat (03/11/2023).
Penggunaan Anggaran Harus Dicermati
Sementara itu, Ketua ormas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Kabupaten Blitar Mujianto mengatakan, jajaran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) harus berani menolak akal-akalan dalam pengelolaan anggaran seperti ini.
“Ini tahun politik, para OPD harus cermat, teliti, dan hati-hati dalam menggunakan anggaran. Banyak jebakan batman, bisa-bisa para OPD malah hanya dijadikan tumbal politik semata. Kalau dana Rp 126 miliar itu dipaksakan jadi dana pokir, saya pastikan akan berurusan dengan hukum,” kata Mujianto.
Mujianto menandaskan, kebutuhan Pemkab Blitar masih banyak. Jadi lebih baik anggaran digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk memenuhi kepentingan politik belaka.
“Estimasi gaji PPPK dan tambahan dana desa saja sudah sekitar Rp 120 miliar sendiri. Belum untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Jangan sampai nanti banyak PPPK yang gak gajian dan bonus atlet yang tak terbayarkan, malah beralasan anggaran terbatas,” tandasnya.
Sesuai dengan surat dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI No S-128/PK/2023 tanggal 21 September. BPKAD dan DPRD didesak untuk segera membahas pengalokasian dana Rp 126 miliar tersebut, agar terang benderang dan bisa diawasi masyarakat.
“Kami minta BPKAD segera membahas bersama DPRD. Ini bukan dana ‘bancakan’ buat pokir. Melainkan dana buat gaji PPPK dan kenaikan dana desa juga. Jangan main-main, masyarakat melihat. Jika gara-gara dijanjikan pokir, menjadi pro penguasa dengan menolak hak angket dan interpelasi,” pungkasnya.
Sejauh ini baru Fraksi PAN dan Fraksi PDIP yang serius mengajukan pansus hak angket dan hak interpelasi. Sedangkan Fraksi Gerakan Pembangunan Nasional (GPN), yakni terdiri dari partai Gerindra, Nasdem, PPP dan PKS belum bersikap.
Terpisah Ketua DPRD Kabupaten Blitar, Suwito menandaskan, bergulirnya hak angket dan hak interpelasi tersebut, dituangkan dalam usulan beberapa fraksi.
“Usulan itu diantaranya, skandal sewa rumah dinas wabub, yang notabene adalah rumah bupati Rini Syarifah, dan ditempati keluarganya sendiri. Masyarakat kini bertanya-tanya, apakah terdapat penyalahgunaan wewenang dalam skandal ini,” tandasnya.
Lebih lanjut politikus PDI Perjuangan ini menyampaikan, sedangkan digulirkannya hak interpelasi yang dimotori Fraksi PDI Perjuangan, disebabkan adanya pembentukan Tim Percepatan Pembangunan dan Inovasi Daerah (TP2ID), yang diduga sarat dengan KKN. Bahkan kakak kandung Bupati Blitar berada di dalam TP2ID tersebut.
“Masalahnya, TP2ID ini diduga bekerja melebihi kewenangannya. Ada dugaan TP2ID sudah kebablasan memanggili para kepala OPD. Isu ini berkembang lagi dengan adanya dugaan jual beli jabatan, monopoli pengadaan barang dan jasa dalam Pemkab Blitar,” jelasnya.
Kewenangan TP2ID yang kebablasan itulah, yang membuat keresahan para OPD dan satuan kerja. Bahkan, sebelumnya mencuat kabar adanya itimidasi pada para OPD terkait mutasi. Daripada isu-isu yang bergulir ini membuat resah masyarakat, maka lahirlah hak angket dan hak interpelasi.
“Menariknya lagi, soal sewa rumah. Mosok to wabupe gak ngerti. Bupatine di media bilang, kalau sudah sepakat dengan pak wabub. Akhirnya saling berbalas pantun. Untuk itu, pentingnya digelar hak angket, secara kelembagaan kami bisa memanggil bupati untuk ditanya, yang sebenarnya,” pungkas Ketua DPRD Kabupaten Blitar. (jar)