Kebahagiaan itu bukanlah tentang berapa, bagaimana, dan apa yang membuat kau merasakannya.
Kebahagiaan itu kadang bukan soal mobil Ferrari, atau baju dan sepatu Nike.
Memang benar kadang, suatu yang membuat kita senang itu adalah berupa materi. Kenapa hal tersebut membuat bahagia?
Karena mungkin itu sesuatu yang kita cita-citakan. Sesuatu yang kita ekspektasikan. Apalagi dengan gempuran pemandangan serba mewah di Instagram.
Padahal kita bukanlah hidup di game GTA. Di mana kita menjadi ‘tuhan’. Setiap ekspektasi atau yang kita inginkan bakal terealisasi di GTA.
Ingin nyuri uang di bank, buat beli mobil karena malu dengan tetangga yang baru beli mobil, ya kita tinggal pencet bunder kanan bunder kanan kotak segi tiga atas. Dipastikan bebas dari kejaran polisi meskipun kita melakukan tindakan kriminal.
Sayangnya cara kerja kehidupan di dunia ini berbeda. Kita hanyalah manusia, dan tidak ada bunder-kanan-bunder-kanan itu.
Kamu berekspektasi ingin beli makan KFC tapi gak punya uang, ya kamu gak bisa mencuri. Kalau mencuri ya masuk penjara atau viral di Instagram Infomalang mungkin.
Dan kamu juga gak bisa ngatur orang lain untuk memenuhi ekspektasimu. Gak punya uang, terus pesen Gofood, tapi gak bayar pas abang Ojol-nya datang. Ujung-ujungnya ya viral. Kini di Twitter dari thread abang Ojol itu.
Celaka dan intinya, ekspektasimu itu bisa menghancurkanmu.
Tidak tahu setinggi atau serendah apapun harapanmu, jika tidak terpenuhi, kamu akan merasa menggigil, atau melamun di kamar sambil merasa bahwa dunia ini tidak adil.
Terus apakah kita harus menyingkirkan ekspektasi itu? Jawabannya bisa iya atau tidak.
Iya disingkirkan jika, ekspektasi mu terlalu tinggi dan takaran atau kemungkinan kamu kecewa cukup tinggi jika itu tidak terealisasi.
Contohnya adalah saya berkekspektasi ingin beli Iphone 14, karena teman saya baru beli.
Padahal gaji saya gak cukup beli itu. Dan ekspektasi mengatakan bulan ini harus beli kalau gak akan malu diri saya ini.
Akhirnya untuk memenuhi ekspektasi saya, saya utang pinjol. Gak tau bayarnya gimana dan bunganya cukup besar, saya ambil saja uang Pinjol untuk memenuhi ekspektasi itu.
Sehari saya bisa bahagia dengan iPhone 14. 4 bulan kemudian saya depresi gila. Gaji saya terpotong ke Pinjol, saya kemakan ekspektasi.
Sementara itu, bisa juga kamu tidak singkirkan ekspektasimu. Caranya adalah dengan merendahkan ekspektasi.
Pertanyaan muncul? Apa merendahkan ekspektasi tidak akan membuat saya bersedih? Atau apa merendahkan ekspektasi bisa tetap membuat saya bahagia?
Ya ini ya tergantung juga. Tapi saya langsung jawab saja: “Merendahkan ekspektasi tidak sama dengan membuatmu sedih alias tidak bahagia.”
Merendahkan ekspektasimu itu tidak akan membuatmu sedih, jikalau kamu bisa memaknai ekspektasi dengan berbeda.
Makna ini penting.
Kylan Mbappe pernah di Final Liga Champions 2020 mau nangis. Karena apa? Karena dia juara dua atau runner-up.
PSG, klub Mbappe waktu itu kalah dengan Bayern. Padahal dia juara dua loh. Lumayan jika dibandingkan Marco Reus.
Marco Reus pada tahun 2020 ternyata tengah bahagia. Dia waktu itu berlibur dengan cewek barunya. Padahal klub Reus BVB Dourtmund itu klub yang gak sampai perempat final. Di fase 16 besar Reus dikalahkan PSG klubnya Mbappe. Tapi dia bahagia.
Di sini terlihat, bahwa Mbappe memaknai juara dua itu adalah sampah. Dia pingin juara satu.
Sementara Reus, ya gak papa dia gak nyampai juara dua. Bahkan 8 besar saja tidak. Makna hidup dan ekspektasi Reus hanyalah berwisata dengan cewek barunya.
Kalau mau contoh lain ya gini nih.
Jika memang temanmu membeli iPhone 14, dan kamu berekspektasi beli itu, ya ubah saja ekspektasimu.
Caranya? Cukup klise. Jangan bandingkan hidupmu dengan temanmu.
Carilah makna hidup lain. Kamu jangan contoh Mbappe yang juara dua Final Liga Champions (dan itu prestasi yang cukup bagus) masih nangis.
Kamu harus tekankan bahwasannya membeli iPhone 14 itu bukanlah tujuan dan inti hidup.
Di sini kamu harus berpikir luas. Temukan makna di hidupmu dan bisa kamu gapai.
Kamu kalau mau contoh ini.
Kamu sekarang mengantongi uang Rp 50 ribu di saat kamu lihat temanmu membeli iPhone.
Dan peristiwa itu memberimu trigger untuk berkespektasi beli iPhone.
Ya jangan ke-trigger.
Temukan ekspektasimu dengan uang Rp 50 ribu.
Beli kopi susu di kafe sambil dengerin musik. Atau membelikan terang bulan untuk membahagiakan ibumu hari ini.
Tanamkan makna bahwa hanya dengan membeli terang bulan dan kamu bawa pulang untuk ibumu itu adalah sebuah prestasi.
Ekspektasi dan kebahagiaanmu harus terpenuhi dengan makna itu.
Siapa tahu, senyum ibumu, terimakasihnya ibumu yang tak pernah kau belikan apa-apa atau tak pernah kau tanyakan kabarnya itu bisa membuatmu menemukan makna.
Dan kamu sekarang memiliki makna, bukan iPhone lagi.
Tapi cukup sekadar membahagiakan orang yang kamu cintai.
Tapi? Sekarang aku lihat mantanku beli iPad? Ekspektasi muncul lagi.
Jawabannya ya biarkan mantanmu seperti itu.
Kamu tidak tahu betapa sengsaranya dia mungkin untuk mendapatkan iPad. Kamu juga tidak tahu bahwa dia bahagia atau tidak dengan ekspektasi itu.
Dan juga hal itu bukan urusanmu juga. Terlalu sibuk kamu mengurusi hidup orang lain.
Kamu urusi saja, makna hidup yang kamu formulakan sebagai ekspektasi minimalmu, yakni membahagiakan ibu.
Dan apa ya? Lagi pula kamu, mantan dan temanmu juga akan ke akhirat atau ke tanah yang gelap. Berdoa saja semoga teman dan mantanmu bisa membawa dan memainkan iPhone di tanah.
Penulis opini: Bob Bimantara Leander