Perda di Kota Malang Tentang Isu HIV/AIDS Belum Ada, Kelompok ini Rentan Terdiskriminasi

kota malang lowongan pekerjaan
Tugu Malang (blok-A/Syams Shobahizzaman)

Kota Malang, blok-a.comKelompok kunci dan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Kota Malang merasa tidak aman dan merasa didiskriminasi saat bermasyarakat.

Hal ini karena belum adanya regulasi yang jelas dalam mengatur isu HIV/AIDS di Kota Malang.

Dengan tidak adanya Perda tentang isu HIV/AIDS di Kota Malang membuka potensi akan hadirnya diskriminasi ke kelompok kunci HIV/AIDS.

Paralegal Reza Guritna Hutama (25) seharusnya Pemkot Malang membuka mata akan pentingnya memberi rasa aman ke kelompok tersebut dengan membut Perda.

“Di Kota Malang sampai sekarang bicara hukum soal HIV/AIDS masih kosong. Sedangkan sejak 2019, kami sudah berikan naskah akademik melalui teman-teman jaringan tapi sekarang sudah masuk ke inisiasi DPRD,” ujarnya dalam diskusi yang digelar di Hotel Tugu Malang beberapa waktu lalu.

Dia pun melihat, selama Perda itu belum ada, kelompok kunci HIV/AIDS di Kota Malang tidak merasa aman hidup bermasyarakat. Beberap komunitas kena grebeg.

“Secara norma tindakan mereka salah, tapi penangkapan pun harus manusiawi. Tidak represif dan diskriminatif,” tuturnya.

Dia juga menambahkan, kelompok minoritas seperti transpuan atau transgender pun juga jadi korban. Mereka tak jarang mendapat perlakuan kekerasan oleh warga sekitar.

“Ada kasus pengeroyokan yang dialami transgender oleh warga. Selama tidak ada payung hukum uang jelas. Belum ada aturan yang menjelaskan mereka perlu dilindungi. Kuncinya di payung hukum,” kata dia.

Seharusnya, Reza menilai, Pemkot Malang bisa saja melanggengkan Perda tentang isu kelompok kunci HIV/AIDS. Sebab, di tingkat provinsi, telah ada Peraturan Gubernur tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No 12 Tahun 2018 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Selain itu juga ada Keputusan Menaker Nomor KEP.68/MEN/IV/2024 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja.

Kedua aturan itu seharusnya bisa dijadikan referensi Pemkot Malang untuk menelurkan Perda.

“Di situ salah satunya tertulis, perusahaan dilarang melakukan pemaksaan tes HIV/AIDS baik untuk alasan rekrutmen atau pemberhentian. Ada beberapa korban yang diberhentikan karena status medisnya. Perda terkait HIV/AIDS itu sendiri nantinya diharapkan dapat memperkuat hak-hak populasi kunci,” tutupnya.

Ketua Waria Malang Raya Peduli Aids (Wamarapa), Denok menyatakan kelompok kunci membutuhkan kehadiran rasa aman saat ini. Mereka tidak ingin mendapatkan tindak premanisme, kekerasan dan diskriminasi. Kelompok kunci juga butuh kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Tindakan diskriminasi dan represif yang sering dialami kelompok kunci bukan merupakan solusi yang tepat. Justru sebaliknya, sikap-sikap itu telah mempersulit mereka untuk mengembangkan diri.

Melihat belum adanya aturan hukum yang menaungi isu HIV/AIDS di Kota Malang, Denok menyatakan perlunya mengakomodir semua kepentingan kelompok. Bagi kelompok transpuan, kehadiran peraturan bisa saja mempersulit posisi mereka. Kata Denok, beberapa transpuan bekerja sebagai pekerja seks komersial. Jika aturan nantinya melarang profesi mereka, maka akan terjadi penolakan

“Di satu sisi, karena HIV/AIDS ini salah satu faktornya berhubungan seks dan itu berkaitan sebagai pekerja seks. Takutnya itu menjadi pasal yang terdampak ke pekerjaan mereka. Kami tidak bisa memaksa mereka untuk berhenti karena kami juga tida bisa memenuhi kebutuhan ekonomi mereka,” terangnya.

Menurut Denok, hal tersebut perlu dipertimbangkan matang-matang jika ada pembahasan tentang pembuatan payung hukum nantinya. Di sisi lain, keberadaan payung hukum tentang isu HIV/AIDS akan menegaskan perlunya perlindungan dan kesetaraan bagi kelompok kunci.

“Makannya kami berjejaring dengan pemerintah agar kebutuhan terpenuhi,” ungkapnya.

Kehadiran payung hukum nanti juga diharapkan bisa mengubah pola pikir masyarakat tentang kelompok kunci. Menurut Denok, pengetahuan masyarakat tentang komunitas kunci sangat kurang saat ini. Banyak mitos-mitos yang diyakini oleh masyarakat membuat kelompok kunci terkucilkan.

“Pengetahuan masyarakat tentang komunitas ini sangat minim. ODHA tidak boleh didekati, tidak boleh serumah dan sebagainya. Itu terjadi karena pengetahuan yang sangat minim,” ungkapnya.

Ia juga mengajak kelompok kunci dapat menyesuaikan diri. Denok mendorong agar kelompok kunci bisa menunjukan hal baik kepada masyarakat. Menurutnya, hal itu penting dilakukan agar mitos-mitos yang berkembang di masyarakat kepada kelompok kunci atau pun ODHA hilang.

“Teman-teman jangan terlalu menuntut lebih ketika tidak bisa menunjukan hal baik ke masyarakat. Misal, minta jangan ada razia, tapi masih sering bikin masalah,” terangnya.

Akhir bulan ini Denok dan rekan-rekan aktivitas lainnya berencana bertemu Komisi D, DPRD Kota Malang. Mereka akan membahas rencana pembentukan Ranperda tentang penyakit menular seperti AIDS, TBC dan malaria. (bob)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?