Pengamatan Hilal di Barat dan Timur Punya Plus Minus, Ini Penjelasan BRIN

Ilustrasi sidang isbat. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Ilustrasi sidang isbat. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

blok-a.com Lokasi pengamatan hilal sebagai penanda awal bulan dalam kalender hijriyah di Indonesia terus bertambah menjadi ratusan tempat. Pakar Astronomi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin mengungkapkan, tiap area pun punya kekurangan dan kelebihan masing-masing.

“Semula lokasinya ditetapkan di Pelabuhan Ratu (Banten). Itu juga menjadi rujukan negara-negara MABIMS (kumpulan Menteri Agama, Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, dan Singapura). Tapi kemudian dalam perkembangannya, dari segi hisab dan rukyat, memang diperlukan beragam tempat,” kata Thomas Djamaluddin, di Jakarta, Kamis (16/3).

Ia mengungkapkan masing-masing daerah pengamatan punya plus-minusnya sendiri.

Thomas mencontohkan daerah pengamatan yang berada di barat Indonesia yang biasanya akan melihat hilal yang lebih tinggi daripada yang di timur.

“Di (daerah) timur, punya kelebihan dari segi cuaca. Di sana, relatif cerahnya lebih banyak jadi potensi melihat hilal lebih besar. Tetapi di Timur, kadang-kadang posisi hilal lebih rendah daripada di barat,” kata mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) itu.

Lebih lanjut, Thomas mengungkapkan, hisab atau rukyat kini tidak melihat titik tertentu sebagai patokan.

Ia mengatakan, kini ada lebih dari 100 titik pengamatan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Nantinya, para pengamat di setiap lokasi akan disumpah oleh hakim agama untuk menjamin hasil pengamatan. Hasil pengamatan yang menunjukkan hilal dan terverifikasi kemudian dibawa ke sidang Isbat.

Mengutip CNN, di Indonesia, organisasi islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) punya kriteria sendiri dalam menentukan hilal. Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal yakni Bulan terlambat terbenam daripada Matahari.

Sementara, Nahdlatul Ulama (NU) termasuk Pemerintah memakai kriteria Inkan Rukyat: perlu syarat tertentu agar hilal tampak mengalahkan cahaya senja.

Terlepas dari perbedaan itu, Thomas menyebut Indonesia sebetulnya sudah memiliki kriteria yang sesuai MABIMS yakni tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kecuali Muhammadiyah, kriteria itu dipakai oleh NU dan Pemerintah.

Thomas mengungkapkan, sebelum kriteria MABIMS, ada kriteria lama yakni tinggi hilal minimal 2 derajat serta umur bulan minimal 8 jam. Namun, kriteria lama itu didasarkan kepada “data yang terbatas”. Setelah dianalisa, data tersebut pun dianggap “kurang valid”.

“Sedangkan data global yang dikumpulkan untuk mendapat kriteria baru, tinggi minimal 3 derajat, elongasi 6,4 derajat,” katanya.

Mengenai awal Ramadan 2023, Thomas mengungkapkan semua ormas dan Pemerintah “Insyaallah akan seragam 23 Maret,”

Hanya saja, Thomas mengatakan “potensi perbedaan” terletak pada penentuan 1 Syawal 1444 H. Menurut Thomas, Pemerintah dan NU beserta ormas Islam lain akan menyelenggarakan Idulfitri pada 22 April.

Sementara, Muhammadiyah akan melakukan Idulfitri pada 21 April.

“Menurut kriteria baru MABIMS 20 April belum memenuhi kriteria. 20 April ada gerhana matahari, sedangkan menurut kriteria wujudul hilal yang dipedomani Muhammadiyah, itu sudah masuk,” tutupnya.(lio)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?