Kota Malang, blok-a.com – Hamid Rusdi menjadi nama yang kerap didengar di Kota Malang. Nama itu menjadi nama terminal hingga jalan dan juga monumen-nya ada di Jalan Simpang Balapan.
Bukan tanpa alasan kenapa Hamid Rusdi dijadikan nama-nama jalan hingga dibuatkan monumennya. Sebab, Hamid Rusdi adalah seorang pahlawan lokal di Malang.
Berikut ceritanya.
Hamid Rusdi adalah seorang pemuda yang lahir pada 1911 di Kecamatan Pagak Kabupaten Malang. Dia adalah anak dari orang tua yang cukup kaya secara ekonomi.
Pakar Sejarah Kota Malang, Agung Buana bilang bahwa orang tua dari Hamid Rusdi ini adalah tuan tanah di Kabupaten Malang.
“Hamid Rusdi lahir dari keluarga kaya-raya. Orang tuanya tuan tanah,” ujarnya.
Jiwa patriotisme dari Hamid Rusdi mulai tumbuh sejak dia memasuki usia remaja. Jiwa patriotisme itu tumbuh saat dia bergabung dengan Pandu Ansor hingga bekerja sebagai sopir di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Lowokwaru.
“Ini masih banyak masyarakat yang belum tahu kalau Hamid Rusdi pernah bekerja sebagai sopir di Lapas Lowokwaru. Di sana ia dilatih oleh tentara Jepang,” katanya.
Hamid Rusdi mendapatkan pelatihan militer dari tentara Jepang mulai 1943. Serangan bom atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki pada 1945 membuat Jepang angkat kaki dari Indonesia.
Mengetahui Jepang yang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, Hamid Rusdi bersama dengan para pejuang yang lain melakukan pelucutan senjata kepada tentara Jepang.
“Pelucutan senjata tentara Jepang itu bukan perkara mudah. Tetapi Hamid Rusdi saat itu menjadi komandannya dengan gagah berani melucuti senjata tentara Jepang,” ujarnya.
Setelah momen Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamid Rusdi direkrut menjadi Badan Keamanan Rakyat atau yang saat ini disebut TNI. Selama karir militernya Hamid Rusdi mendapatkan pangkat Letnan Kolonel.
Namun pada 1948, atas alasan efisiensi keuangan negara, pangkatnya turun menjadi Mayor. Setahun berselang Hamid Rusdi kembali ikut dalam pertempuran Agresi Militer Belanda II.
Pada pertempuran ini Hamid Rusdi memimpin kelompok pejuang bernama Gerilya Rakyat Kota (GRK). Dari kelompok inilah bahasa walikan atau bahasa terbalik mulai digunakan. Tujuannya adalah untuk mengelabui mata-mata dari Belanda.
“Jadi contohnya apabila ingin bicara bagus sekali atau apik sekali diganti jadi kipa ilakes. Bahasa walikan ini untuk mengelabui Belanda saat itu,” katanya.
Pada Agresi Militer Belanda II ini Hamid Rusdi mati ditangan penjajah pada 8 Maret 1949. Ia terkena senapan pasukan kolonial di pinggir sungai di Wonokoyo, Kedungkandang.
Hamid Rusdi meninggal dunia pada usia 38 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Malang pada akhir 1949. (bob)