Kota Malang , blok-a.com – Keluhan dan protes para orang tua atau wali murid terkait mahalnya seragam sekolah di salah satu SMPN di Kota Malang bermunculan.
Para wali murid merasa biaya seragam yang diminta oleh pihak sekolah SMPN di Kota Malang terlalu tinggi. Di mana seragam sekolah ukuran standar totalnya mencapai Rp 1.250.000 dan ukuran jumbo total Rp 1.325.000.
Sayangnya, sekolah tersebut tidak kooperatif saat diprotes oleh orang tua yang keberatan dengan seragam mahal.
Kerabat dari salah satu wali murid Fahzah (28) mengatakan, anak dari kakak iparnya beberapa waktu lalu diterima sebagai murid kelas VII di salah satu SMP Negeri di Kota Malang.
Permasalahan terjadi pada pekan lalu. Di mana para wali murid termasuk kakak ipar Fahzah diberikan rincian biaya seragam sekolah yang harus dibayarkan melalui grup WhatsApp.
“Itu yang diberikan berupa kain saja dan jahitnya kakak ipar saya otomatis harus keluarkan uang lagi. Kalau nggak salah satu setel sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu,” ujarnya kepada awak media , Kamis (27/7/2023) siang.
Tidak setuju dengan biaya seragam tersebut, para wali murid melayangkan protes melalui grup WhatsApp. Namun, bukan mendapat solusi, pihak sekolah selaku admin malah membatasi percakapan di grup itu.
“Setelah dibatasi percakapan itu. Adminnya bilang kalau mau protes terkait biaya seragam bisa datang ke sekolah menemui langsung kepala sekolahnya,” terang Fahzah.
Dari situ, para wali murid memutuskan untuk datang ke sekolah. Tapi, mereka tak berhasil bertemu dengan kepala sekolah secara langsung.
Belum bisa langsung bertemu kepsek, tapi diinfokan kalau tetap wajib beli dan diberi keringanan bisa dicicil dengan membayar DP 50% dari harga seragam,” ungkap Fahzah.
Meski telah mendapatkan kesepakatan pembayaran bisa dicicil, kakak ipar Fahzah tetap memutuskan untuk meminta keringan kepada pihak sekolah
Upaya tersebut pada akhirnya membuahkan hasil. Kakak ipar Fahzah mendapatkan keringanan dengan hanya membeli seragam dan atribut yang tidak bisa dibeli di luar.
Seperti sabuk, topi, seragam olahraga, seragam batik, kaos kaki dan barang-barang lain yang memiliki lambang maupun bertuliskan nama sekolah tersebut.
“Tapi tidak boleh bilang-bilang katanya, karena ibu kepsek takut wali murid lainnya ikutan minta keringanan. Wali murid lain terpaksa mencicil dengan bayar DP 50% dulu,” kata dia.
Total yang harus dibayarkan kakak ipar Fahzah ke sekolah sebesar Rp 700 ribu ditambah Rp 63 ribu untuk uang psikotes.
“Jadi kakak ipar saya beli yang biru putih dan pramuka Rp 300 ribu itu 2 stel sudah jadi dan dapat dasi+topi. Kalau total lebih dari Rp 1 juta karena harus tambah jahit seragam batik yang dapat dari sekolah,” ungkapnya.
Fahzah sendiri menyayangkan penarikan biaya pembelian seragam yang mahal tersebut. Ia pun berharap ke depannya tidak ada permasalahan serupa.
“Saya pribadi pernah berkecimpung di dunia pendidikan dulu, tolong jangan ada masalah seperti ini lagi. Tidak semua siswa berasal dari kalangan mampu,” kata dia.
“Banyak juga orang tua memilih memasukkan anaknya ke sekolah negeri karena diharapkan biayanya lebih murah melalui subsidi pemerintah untik SPP, buku dan sebagainya,” sambungnya.
Jika permasalahan ini terus terjadi, tentu juga akan menjadi beban bagi orang tua atau wali murid. Beban ini bisa berdampak pada munculnya problematika keluarga.
“Belum lagi jika ada pungli lain dari kewajiban membeli LKS, buku paket dan lain-lain. Sungguh masih banyak PR untuk menghasilkan anak-anak generasi penerus bermoral,” terangnya.
Bayangkan, bagaimana siswa menjadi bermoral baik, beradab, dan berakhlak jika institusi dan pelaku yang ada di dunia pendidikan saja seperti itu, output akan baik jika selama proses ditempa dengan baik oleh orang-orang dan sistem yang baik pula,” tandasnya.