Surabaya, blok-a.com – Belasan kamera handphone diangkat tinggi-tinggi. Bagai isyarat atau kode perintah diam.
Fokus kamera bergerak-gerak, tapi si empunya tidak satu pun mengeluarkan suara gaduh, teriak atau ribut meski berebut posisi. Begitulah regulasi di ruang sidang bagi kuli tinta.
Seluruh kamera terlihat fokus membidik wajah dan terus mengikuti gerak-gerik pria kerempeng yang duduk di depan majelis hakim.
Terutama saat pria bernama Devi Athok Yulfitri itu mulai terisak.
Dengan pelan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanyakan apakah saksi melihat sendiri kondisi dua anak perempuannya dan mantan istrinya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu.
“Habis Pak Hidup Saya!,” ujar Devi Athok yang datang sebagai saksi dalam sidang kasus tersebut di PN Surabaya, Selasa (24/1/2023).
Dengan suara parau terbata-bata, Devi Athok, mengaku nyaris tidak mengenali wajah dua anak dan mantan istrinya.
“Anak saya Natasya sudah membiru, menghitam dan wajah bengkak. Mengeluarkan busa terus. Nyaris tidak kenal Pak. Kalau tidak karena bajunya tidak mungkin bisa kenal,” ujarnya.
Devi Athok menjadi satu-satunya saksi orangtua korban tragedi Kanjuruhan yang didatangkan jaksa penuntut umum (JPU) Selasa (24/1/2023) ini, selain saksi petugass steward dan saksi direktur LIB.
Semakin ia bicara, semakin hening. Suasana sidang menjadi haru biru.
Namun JPU berusaha menegarkan diri, dengan terus menimpuki saksi dengan pertanyaan.
Terakhir, Athok menunjukkan foto kondisi terakhir kedua anaknya Natasya dan Nayla serta mantan istrinya.
Menurut Devi Athok, saat itu dirinya mendapat telepon dari temannya bahwa anaknya Tasya sudah tergeletak di gate tribun 13.
Discussion about this post