Kota Malang, blok-A.com – Kasus dugaan pelecahan seksual dalam organisasi Malang Corruption Watch (MCW) sempat tenggelam.
Kasus itu berlarut-larut sejak 2019 tidak ada juntrungnya. Nasib korban pun selama tiga tahun terakhir tidak jelas untuk meminta keadilan.
Bagaimana kasus dugaan pelecehan seksual itu terjadi?
Ada dua perempuan yang diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh aktivis MCW.
Keduanya ialah salah satu mahasiswi perguruan tinggi di Malang dan aktivis pers di kampus perguruan tinggi Malang.
Tempat kejadian perkara dugaan kekerasan seksual pun diketahui berbeda-beda. Mulai dari pantai yang berada di wilayah Malang dan juga hotel di Kota Batu.
MCW saat itu menerima laporan kasus ini pada 24 Desember 2019 melalui pesan singkat aplikasi WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai pendamping korban.
Saat itu, pendamping korban mengaku punya bukti lengkap pelecehan seksual yang dilakukan salah satu orang MCW itu.
Kemudian, pada Minggu (17/07/2022) siang tadi, MCW melalui akun instagramnya @mcwngalam mengeluarkan klarifikasi. Di tulis di unggahan itu MCW minta maaf dan menindaklanjuti kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan Badan Pekerja MCW pada 2019 silam.
Pendamping korban, Salma Safitri yang kini bekerja di P2TP2A Kota Batu menanggapi permintaan maaf itu.
Kala itu, Salma Safitri diketahui sempat mendampingi korban bersama Women Crisis Center (WCC) selama satu tahun setelah kasus tersebut dilaporkan.
Salma mengapresiasi langkah yang dilakukan MCW dalam mengeluarkan sikap permohonan maafnya. Sebab, dengan permohonan maaf itu MCW mengakui pegawainya melakukan dugaan cabul tersebut.
“Saya apresiasi apa yang dilakukan MCW. Artinya setelah dua tahun dia mengakui bahwa ada perilaku kekerasan seksual yang terjadi dan pada saat itu dibiarkan,” ujar Salma saat dikonfirmasi, Minggu (17/07/2022).
Namun, apresiasi tersebut tentu memiliki catatan mendalam dari Salma yang sudah mendampingi korban selama kasus ini bergulir.
Salma mengungkapkan bahwa sebuah maaf saja tidak cukup untuk membayar kasus yang terkubur beberapa tahun ini.
Perlu adanya pembangunan sistem dalam pencegahan kekerasan seksual didalam lingkungan organisasi perlu dilakukan setelah berkaca pada kasus sebelumnya.
Dia juga menjelaskan MCW harus mendukung upaya penyembuhan psikologis bagi korban.
“Kemudian khusus kepada korban, dia (MCW) harus meminta maaf kepada korban. Harus meminta maaf dan mendukung upaya recovery psikologis yang perlu dilakukan jika korban masih memiliki trauma,” ungkapnya.
Sebab, kata Salma, ketika dulu ia mendapat laporan, saat itu korban masih dalam kondisi trauma. Salma juga tidak tahu apakah selama ini korban mendapatkan trauma healing dari pihak MCW yang memang harus bertanggung jawab atau tidak.
“Meski saya apresiasi apa yang dilakukan MCW, namun MCW masih harus bertanggungjawab atas trauma korban,” tegasnya.
“Memang perlu minta maaf ke publik, karena dia lembaga publik dalam konteks korupsi. Tapi tak cukup hanya minta maaf,” imbuhnya.
Pada awal kasus, Salma bercerita bahwa dirinya sempat mendatangi MCW untuk menyampaikan komplainnya sebagai pendamping korban dan memberikan usulan untuk membantu korban. Namun sayangnya, kala itu MCW pun menampik.
Menurut Salma, saat itu, MCW menilai bahwa kasus ini hanyal urusan pribadi dan tidak ada sangkut pautnya dengan MCW. Namun, dari kronologi yang mencuat bahwa terduga pelaku kekerasan seksual melakukan aksinya dalam konteks pekerjaan.
“Jadi kami anggap saat itu MCW tidak mengakui adanya kasus tersebut bahwa ada kekerasan dan belum terselesaikan. Sejak saat itu saya memboikot MCW, saya tidak mau hadir di acara MCW. Itu bentuk dari sikap saya,” tuturnya.
Tiga tahun berjalan, lanjut Salma, kasus ini tidak pernah dilaporkan ke pihak yang berwajib atau kepolisian. Sebab, kala itu memang permintaan dari korban yang tak menginginkan kasus ini berlanjut ke ranah hukum.
“Waktu itu korban hanya minta pengakuan perbuatan dan ada tindakan organisasi MCW kepada pelaku. Lalu meminta MCW minta maaf, karena itu terjadi dalam konteks pekerjaan. Jadi ketika yang bersangkutan di MCW, menggunakan jabatannya untuk memanipulasi korban, mengeksploitasi korban secara psikis,” bebernya.
Setelah adanya pernyataan dari resmi permohonan maaf dari MCW, Salma mengaku belum mengetahuinya. Akan tetapi, dari organisasi Salma, sempat ada undangan dari MCW dalam acara peluncuran sistem pencegahan kekerasan seksual dari inisiasi MCW.
“Beberapa hari lalu ada undangan itu, tapi tim saya yang hadir, saya tidak tahu. Saya baru tahu semua hari ini,” tandasnya.
Sebagai informasi, isi dalam pernyataan permohonan maaf dari MCW melalui akun instagramnya, memiliki enam point.
Pertama, MCW mengakui bahwa pada tahun 2019 terjadi kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu Badan Pekerja MCW. Kemudian, MCW pun telah memutuskan untuk memberhentikan, mengeluarkan dan menutup akses bagi pelaku untuk tidak kembali berinteraksi dan beraktivitas di lingkungan perkumpulan MCW.
Kedua, kasus kekerasan seksual yang terjadi tiga tahun lalu merupakan kesalahan dan kelalaian MCW dalam menegakkan prinsip etis organisasi, sehingga berdampak terhadap ketidakmampuan dalam mewujudkan ruang aman bagi setiap individu yang melakukan segala aktivitas advokasi dari kejahatan kekerasan seksual di lingkungan perkumpulan MCW.
Ketiga, MCW menyadari peristiwa tersebut sangat bertentangan dengan prinsip demokrasi, HAM dan keadilan gender secara umum dan secara khusus melanggar kode etik organisasi dan permohonan maaf kepada publik dan seluruh elemen gerakan yang telah dirugikan atas peristiwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh Badan Pekerja MCW kala itu.
Keempat, MCW menyadari bahwa dalam upaya menyelesaikan kasus kekerasan seksual tersebut, MCW sangat lamban dan terkesan mengabaikan. Namun, MCW tidak memiliki niatan untuk tidak menyelesaikan kasus tersebut. Sebab, pada tahan ini, MCW melakukan proses investigasi dan pendalaman kasus secara penuh hati-hati dan tetap dalam mekanisme advokasi kekerasan seksual. Selain itu, MCW meminta banyak pandangan kepada beberapa pihak yang memiliki kapabilitas dalam penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di MCW.
Kelima, MCW menyadari bahwa upaya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi semua, termasuk menciptakan ruang aman melalui pembangunan sistem pencegahan adalah hal yang mendesak bagi MCW. Oleh karena itu, berdasarkan evaluasi dan refleksi terhadap peristiwa kekerasan seksual yang pernah terjadi, MCW memutuskan untuk membangun sistem pencegahan melalui perbuatan pedoman pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual dan penguatan perspektif gender secara rutin bagi badan pekerja dan relawan MCW.
Keenam, bahwa pedoman pencegahan kasus kekerasan seksual tersebut berlaku bagi setiap orang/kelompok yang tergabung dalam perkumpulan MCW, sehingga apabila terdapat seseorang/kelompok orang yang melakukan atau berpotensi melakukan kekerasan seksual baik terhadap sesama anggota perkumpulan MCW maupun non anggota MCW, pelaku ditindak berdasarkan mekanisme penanganan dan pencegahan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam pedoman ini. (bob)
Discussion about this post