Blok-a.com – Isu terkait pencampuran bahan bakar minyak (BBM) Pertalite menjadi Pertamax belakangan ini menjadi sorotan publik.
Isu ini mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga untuk periode 2018 hingga 2023.
Di sisi lain, PT Pertamina Patra Niaga menegaskan bahwa mereka tidak melakukan pencampuran BBM impor RON 90 menjadi RON 92. Produk yang diterima dari kilang dan impor sudah sesuai standar, dengan hanya penambahan warna dan zat aditif di terminal BBM tanpa mengubah nilai oktan.
Kasus ini pun menjadi perbincangan di media sosial, banyak publik yang kecewa, khususnya para pengguna BBM Pertamax. Beberapa warganet bahkan menyerukan untuk beralih ke produk BBM dari merek asing.
Dirangkum Blok-a.com, Kamis (27/2/2025), berikut deretan fakta terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga.
Awal Mula Terungkap
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengatakan bahwa kasus ini terungkap dari keluhan masyarakat terkait kualitas BBM yang dikelola Pertamina.
Kejagung kemudian melakukan penyelidikan dengan sprindik nomor PRIN-59/F.2/Fd.2/10/2024 yang terdaftar pada 24 Oktober 2024.
“Awalnya itu kita masuknya dari situ (keluhan masyarakat), lalu dibuat telaahannya, kemudian dilakukan penyelidikan,” kata Harli di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Rabu (26/2/2025).
Harli menambahkan bahwa setelah pengamatan lebih lanjut, Kejagung menemukan indikasi tindak pidana korupsi di lingkungan Pertamina, yang kemudian diperluas dalam penyelidikan
Tetapkan 9 Tersangka
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan, Kejagung menetapkan 9 tersangka yang terdiri dari enam pejabat Pertamina dan tiga dari pihak swasta. Berikut daftarnya:
- Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
- Sani Dinar Saifuddin, Direktur Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional
- Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
- Agus Purwono, VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
- Muhammad Kerry Andrianto Riza, beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa
- Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim
- Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak
- Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
- Edward Corne, VP Trading Produk Pertamina Patra Niaga.
Modus Tersangka
Modus yang dilakukan oleh para tersangka dalam kasus ini diawali dengan mengurangi produksi minyak dalam negeri, sehingga kebutuhan dalam negeri tidak tercukupi dan memaksa untuk mengimpor minyak.
Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018, PT Pertamina seharusnya mengutamakan pemenuhan minyak mentah dalam negeri. Namun, para tersangka sengaja menolak minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan alasan kualitas dan harga yang tidak sesuai, meskipun produk tersebut sebenarnya masih layak diolah.
Untuk mendukung kebutuhan impor, mereka juga melakukan mark-up pada kontrak pengiriman minyak impor. Selain itu, mereka mengoplos minyak mentah impor dengan RON 90 (setara Pertalite) dan kualitas yang lebih rendah, kemudian mencampurnya sehingga menghasilkan RON 92 (setara Pertamax).
Dengan cara ini, kebutuhan BBM dalam negeri tetap dipenuhi melalui impor, tetapi dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan minyak mentah domestik.
Periode 2018-2023
Kejagung mengungkapkan bahwa praktik impor RON 90 yang dicampur menjadi bahan bakar sejenis Pertamax hanya terjadi antara 2018 hingga 2023.
“Saya sampaikan bahwa penyidikan perkara ini dilakukan dalam tempus waktu 2018 sampai 2023. Artinya, ini sudah dua tahun yang lalu,” kata Harli.
Oleh karena itu, Harli meminta agar masyarakat tidak berspekulasi bahwa praktik tersebut masih berlangsung hingga kini, mengingat minyak adalah barang yang habis pakai dan terus diperbarui stoknya.
“Jadi maksud kita, jangan seolah-olah bahwa peristiwa itu terjadi juga sekarang. Ini kan bisa membahayakan di satu sisi ya. Fakta hukumnya ini di 2018-2023, dan ini sudah selesai. Minyak ini barang habis pakai,” jelas Harli.
Kerugian Mencapai 193 Triliun
Kejaksaan Agung mengungkapkan kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun yang terjadi pada tahun 2023. Jumlah ini masih merupakan perhitungan untuk satu tahun, dan belum diketahui total kerugian yang sebenarnya.
Kerugian tersebut terdiri dari lima komponen:
- Ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun
- Impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun
- Impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun
- Kompensasi sekitar Rp126 triliun
- Subsidi sekitar Rp21 triliun
Karena kasus ini terjadi antara 2018 hingga 2023, nantinya penyidik juga akan memeriksa kemungkinan adanya kompensasi dan subsidi yang diberikan oleh negara pada tahun-tahun sebelumnya.
“Nanti juga kami akan melihat, mendorong penyidik, apakah bisa ditelusuri mulai dari tahun 2018 ke 2023 secara akumulasi. Kami juga mengharapkan kesiapan ahli untuk melakukan perhitungan terhadap itu,” jelasnya.
Menteri ESDM Bantah Isu Oplosan
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membantah isu terkait oplosan BBM Pertamax (RON 92) dan Pertalite (RON 90). Ia menegaskan bahwa semua BBM yang beredar di pasaran sudah memenuhi spesifikasi dan standar yang ditetapkan pemerintah.
“Nggak ada. Apanya kualitas? Kualitas kita kan sudah sesuai standar. Ada RON 90, RON 92. Segala macam ada. Kan sudah ada semuanya,” kata Bahlil, Rabu (27/2/2025).
Ia juga menanggapi kekhawatiran publik mengenai kemungkinan pencampuran BBM. Menurutnya, blending atau pencampuran BBM diperbolehkan asal kualitas dan spesifikasinya tetap sesuai standar yang berlaku.
“Boleh sebenarnya (blending). Selama kualitasnya, speknya sama,” terangnya.
Menteri BUMN Dukung Proses Hukum
Menanggapi kasus yang melibatkan perusahaan-perusahaan BUMN, Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan bahwa pihaknya akan menghormati proses hukum.
“Kita kan sudah sampaikan bahwa memang penegakan hukum, kita harus hormati dan semua proses hukumnya pasti kita dukung,” ujar Erick, Rabu (26/2/2025).
Terkait pengganti Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Erick mengatakan bahwa hal tersebut belum dibahas lebih lanjut dan akan dikonsultasikan dengan Komisaris Utama. (hen)