Cerita Khadijah, Setia Jajakan Keris Melawan Sepinya Pasar

Khodijah, sedang menjajakan barang keris dan pusaka di lapak Indrapura, yang kesohor di Surabaya.(blok-a.com/isma)
Khodijah, sedang menjajakan barang keris dan pusaka di lapak Indrapura, yang kesohor di Surabaya.(blok-a.com/isma)

Surabaya, blok-a.com Puluhan lapak pedagang batu akik dan cincin di sekitar kawasan gedung DPRD Jawa Timur masih buka. Gemuruh massa pendemo dan kesibukan polisi tak terdengar.

Di salah satu sudut Jalan Indrapura, tembusan ke Pasar Turi lama ini, begitu tenang. Pedagang kopi sibuk menuangkan air panas. Pedagang dan pengrajin cincin akik, sibuk memoles dan menggosok batu.

Namun, tidak bagi Khodijah, seorang penjual barang antik, pusaka, dan keris. Dia hanya duduk. Di sebelahnya banyak benda tajam sejenis sikep dipajang.

Lapaknya berukuran satu meteran itu dipenuhi keris, keris mini, keris semar, dan mata tombak.

Khodijah, ramah tersenyum saat disapa. “Monggo Mas, mau nyari apa?,” ujarnya.

Wartawan blok-a.com hanya bisa mengaku tidak sedang mencari benda pusaka. Namun, sengaja mengunjunginya karena situasi lapaknya paling sepi.

Tidak satu orang pun datang menghampiri lapaknya. Setengah jam blok-a.com menemani Khodijah ngobrol, pengunjung hanya lewat di depan lapaknya.

Barang dagangannya nyaris tidak laku. Pembeli jarang datang. Penggemar keris dan benda antik sudah tidak mengunjunginya lagi. Dia tidak tahu apa sebabnya.

Dia bercerita, selama periode 2015-2019 kemarin kawasan ini sangat ramai. Ratusan pedagang di lapak ini mendapat berkah melimpah karena booming batu akik.

Kala itu ngetrend batu akik sojol, bacan, batu macan, dan giok banten. Batu akik kuno mulai pyrus hingga batu safir laku keras.

Pengrajin mban (ring cincin Jawa) juga ketiban berkah. Di kawasan ini ada 10 orang ahli pembuat ring cincin beraneka motif sesuai pesanan.

Kata Khodijah, dia juga kebagian berkah. Benda pusaka yang dijualnya tidak mengandung mistik. Dia menjual barang yang moderen.

Keris yang dia jual juga hasil tempaan baru, bukan peninggalan sejarah atau keris kuno.

Dia datangkan keris itu dari Desa Aeng Tong Tong, Kecamatan Saronggi, Kecamatan Sumenep, tempat atau desa keris terkenal.

Di sana banyak Empu, pembuat keris. Baik remaja hingga dewasa, mulai perempuan muda hingga lelaki tua banyak yang jadi Empu.
Konon saat membuat keris, pada Empu di Aeng Tong Tong, sebelum menempa besar harus puasa terlebih dahulu.

Khodijah, tidak memahami proses pembuatannya. Dia mengaku hanya menjualnya saja. Per buah keris dibanderol Rp150 ribu. Ada yang sudah lekuk 5 hingga 13. Harga itu sudah dengan warangkanya.

“Untuk penggunaannya seringkali dipakai oleh para pengusaha wedding atau persewaan alat wedding pernikahan,” ujarnya.

Seharian ini belum ada yang terjual. Tidak satu pun orang datang membeli. Khodijah sendiri masih belum memahami pola bisnis online.

“Saya ndak mengerti Mas soal online,” ujarnya, saat ditanya kenapa tidak dionlinekan.

Dia sebenarnya mengakui telah mendengar ada yang jual beli secara online. Untuk itu dia tidak menguasainya meski penasaran dan ingin mencobanya.

“Mungkin anak saya nanti yang bisa, enak juga rasanya. Soalnya tidak perlu di lapak begini, di rumah saja bisa,” ujarnya.

Ibu dari tiga anak ini, mengaku seluruh anaknya sudah besar. Dua sudah mandiri, sementara yang terakhir, Syafa, masih akan menyudahi masa lajangnya.

Bagi Khodijah, setia bertahan di dalam sepi pengunjung tersembul keyakinan bahwa rezeki sudah diatur Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.

“Yang penting saya usaha Mas,” ujarnya.

Kini, dia hanya bisa pasrah. Lapak dagangannya, masih banyak yang belum laku.

Jika separoh saja laku, maka modal bisa terkumpul kembali. Dia pun berpikiran akan mengembangkannya secara online.(kim/lio)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?