Surabaya, blok-a.com – Hasil survei politik banyak berbeda. Lembaga survei satu dengan lain tak sama.
Terkadang perbedaan angkanya sangat mencolok, sehingga membangun kesan akurasi survei politik jauh dari fakta dan presisi data secara ideal.
Ketua PWI Jatim, Lutfil Hakim, mengatakan hal itu saat ditanya pendapatnya tentang banyaknya survei politik yang berbeda-beda hasil dengan angka mencolok.
“Capres X, misalnya, hasil surveinya oleh lembaga tertentu angkanya sangat tinggi. Tapi oleh lembaga survei hasilnya jauh di bawah. Ini bisa menimbulkan kegaduhan di ruang publik dan berpotensi kerawanan keamanan,” kata Lutfil.
Berangkat dari situlah, Ketua PWI Jatim ini meminta kepada awak pers dan media untuk lebih selektif memuat hasil survei dengan tetap mengedepankan prinsip jurnalistik secara kaffah.
“Bukan asal muat rilis hasil survei. Tapi wajib dilakukan cek dan ricek, memastikan bahwa lembaga pelaksana survei benar-benar bekerja secara independen. Bukan pesanan untuk pemenangan salah satu capres. Pers wajib netral, cover-both side, profesional dan proporsional,” tegasnya.
Pers nasional, lanjut Lutfil, memiliki tanggungjawab moral untuk suksesnya pelaksanaan Pesta Demokrasi 2024 dengan harapan bisa melahirkan kepemimpinan nasional yang berkualitas.
Fungsi pers yang harus dikedepanlkan di musim politik adalah fungsi kontrol (watchdog) agar semua proses pemilu berjalan secara benar dan baik.
“Pers wajib melakukan kontrol melalui berita, opini, atau laporan indepth terhadap proses pemilu, baik atas kerja KPU, Bawaslu, maupun terhadap peserta pemilu, serta memberikan edukasi cerdas kepada publik. Pers bertanggungjawab agar pemilu terlaksana secara demokratis, luber, jurdil dan terbebas dari kecurangan kepentingan para pihak,” katanya.
Lutfil juga berpesan agar pers nasional bisa menjaga ‘Pagar Api’ (fire-wall) yakni membedakan secara profesional dan proporsional antara konten berita dan konten promosi politik.
“Pada konten berita terdapat hak publik untuk mendapatkan info yang benar dan jujur terkait pemilu. Jangan hanya karena mendapat iklan lantas pers menjadi tendensius dan tidak proporsional, itu jelas – jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers, serta menabrak UU Pemilu,” pungkasnya.(kim)