Mengenang Tragedi Lumpur Lapindo, Sejarahnya Sampai Jadi Desa Mati

ilustrasi lumpur lapindo (sumber: TEMPO)
ilustrasi lumpur lapindo (sumber: TEMPO)

Blok-a.comKota Sidoarjo, Kota yang dijuluki sebagai Kota Delta, dan sering disebut Gerbangkertosusila ini, merupakan Kota penyokong perekonomian tetangga yakni Kota Surabaya.

Terkenal akan banyak pabrik dan tambaknya, buat kota ini kaya di sektor perekonomian.

Meski begitu, di tengah hingar bingarnya, Kota Sidoarjo menyimpan sisi kelam yang terkenal menyedihkan.

Pasalnya, di tahun 2006, tepatnya 29 Mei 2006 silam, semburan lumpur panas keluar dari perut bumi.

Semburan lumpur itu berada di lokasi pengeboran minyak milik PT Lapindo Brantas di sekitar sumur Banjar Panji 1, yang berlokasi di Dusun Balongnongo, Desa Renokenongo, dan Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Titik sembur itu berpusat sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo, yang dahulu merupakan kawasan permukiman padat penduduk dan area industri utama di Jawa Timur.

Berawal dari temuan warga, yang melihat  adanya gas yang mulai muncul sejak pukul 06.00 WIB, dengan suhu 60 derajat celcius, yang kemungkinan sudah menyembur sejak subuh, pukul 04.30 WIB.

Lambat laun, ternyata semburan tersebut tak kunjung berhenti.

Sampai-sampai semburan itu mengganggu aktivitas warga sekitar dan menenggelamkan beberapa fasilitas umum, pemukiman, sawah, dan perkebunan warga.

Warga yang terdampak pun diungsikan ke tempat yang lebih aman, salah satunya adalah Pasar Baru Porong.

Di tempat pengungsian ini warga hidup ala kadarnya, dengan berbalutkan tenda yang terkadang harus tidur berhimpitan.

Usia diungsikan, warga pun masih harus merintis kehidupan baru di tempat lain, dengan pekerjaan baru yang belum pasti.

Lebih parah lagi, para pengungsi ini juga mengalami krisis identitas, karena KTP mereka sudah tidak bisa digunakan lagi, akibat desa tempat tinggalnya sudah hilang ditelan lumpur panas.

Sejak saat itu,  semburan Lumpur Lapindo telah menggenangi 19 desa di Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Jabon, dan Kecamatan Porong dengan luas area terdampak mencapai 1.143,3 hektare.

Kejadian tersebut membuat lebih dari 10.426 unit rumah warga dan 77 tempat ibadah terendam lumpur.

Data tersebut ternyata belum termasuk kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lainnya, termasuk jaringan listrik, telepon, dan air bersih.

Begitu pula dengan ratusan hektare lahan pertanian serta persawahan milik warga, serta ribuan ekor hewan ternak.

Tak hanya pemukiman dan lahan ternyata lumpur lapindo juga mengganggu operasional Jalan Tol Surabaya-Gempol, serta jalur kereta api Surabaya-Banyuwangi dan Surabaya-Malang. Serta 30 pabrik yang ada di sekitar area semburan terpaksa harus berhenti beroperasi.

Dampaknya, ada 1.873 orang yang harus kehilangan pekerjaan dan terpaksa menganggur serta mencari pekerjaan di tempat lain.

Ganti Rugi Belum Maksimal 

Setelah 17 tahun berlalu, hingga kini ternyata masih banyak warga yang merasa belum diganti rugi, khususnya para pengusaha di Sidoarjo yang asetnya turut terdampak bencana lumpur.

Selain itu, rumah-rumah warga Sidoarjo yang sudah di ganti rugi, saat ini juga masih dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Tapi sebagian rumah warga juga sudah dibongkar dan ditanami tanaman rimbun.

Seperti contoh salah satu desa di porong yakni Desa Mindi. Di Mindi, kebanyakan rumah-rumah warga memang belum tergenang, sebagian sudah di bongkar dan ditanami pohon-pohon tinggi yang menjulang.

Saat malam tiba pun desa ini terasa sepi bak desa mati. Semakin bahaya lagi, ternyata desa ini sekarang dimanfaatkan oleh pelaku tindak kejahatan begal untuk melancarkan aksinya akibat minimnya penerangan.

Padahal, desa ini masih jadi jalan alternatif utama masyarakat porong yang hendak menuju ke Pasuruan dan Gempol.

Dengan begitu, diharapkan warga yang lewat di jalan ini lebih waspada, lebih-lebih di malam hari mengingat kawasan ini sangat sepi dan rawan tindak kriminal. (mg3) 

 

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?