Kembali lagi ke dua tahun yang lalu. Saat itu tengah termegap-megap saya. Satu hari 10 berita harus diketik.
Apa saja. Pokoknya 10 berita. Kuantitas diperkuat. Walaupun menulis batu terjatuh di tanah pun tayang. Entah diedit atau tidak. Tapi saya tidak bisa sampai 10 berita.
Saat kejadian pokoknya sedang viral, entah narasumbernya siapa, pokoknya ada kaitannya dengan yang sedang viral, tayang.
Lagi-lagi 10 berita harus selesai.
Semua itu dilakukan demi menghamba kepada Google Trend dan juga Traffic Web.
Kenapa harus ke sana? Supaya webnya bagus dan mudah muncul di mesin pencarian.
Hasilnya memang benar. Terakhir saya lihat data web media itu, dua tahun yang lalu sangat luar biasa.
Traffic tinggi, dan pembaca banyak adalah ganjarannya.
Tapi sekali lagi, semua itu menurut saya cacat. Gak sampai dua tahun media itu wafat.
Traffic tinggi dan web bagus hancur dalam waktu sekejap. Sebelum hancur saya pun sudah tidak di sana. Saya memutuskan untuk keluar dari perahu yang sudah saya prediksi akan karam. Saya pengecut? Boleh dikatakan itu. Tapi saya tidak bodoh.
Alasan saya keluar satu karena pengelolaan tidak profesional. Pengelolaan hanya menghamba ke traffic dan Google Trend.
Padahal pekerja itu manusia dan pembaca itu akhirnya paham, mana yang hasil dari manusia dan hasil dari manusia yang apa saya sebut di-robot-kan. Di satu titik itu, media itu gagal paham.
Kenapa saya sebut tidak profesional? Karena Sumber Daya Manusianya sangat kurang.
Kurang secara kualitas dan kuantitas. Tapi semua dipaksa untuk mengejar traffic. Kualitas tulisan dikesampingkan, narasumber entah siapa dikesampingkan. Cuma satu tujuan cepat dan trending.
Memang saya paham kerja media itu harus mengikuti traffic. Harus mengikuti trend atau Google Trend itu adalah wajib. Media besar semua melakukan itu.
Tetapi, jika ibarat kata, pelurunya cuma ada lima, jangan bermimpi untuk merobohkan suatu tembok.
Jika di penjara hanya ada satu butir nasi, jangan harap lima orang di penjara akan kenyang.
Dua ibarat itulah yang ingin saya gambarkan saat media dua tahun lalu itu hancur.
Jadi sepengetahuan saya, media itu dalamnya sangat busuk. Pengelolaan SDM-nya sangat buruk.
Tidak ada apresiasi walaupun pekerjanya cukup lelah menggali potensinya secara maksimal.
Semua penulis informasi dimaksimalkan bahkan boleh saya bilang dieksploitasi.
Buktinya kinerja anak sosmed dan konten tidak berhenti. Semua harus piket.
Konten konten dan konten adalah yang dikejar. Trending trending dan trending adalah yang dimakan.
Mereka sekali lagi lupa.
Saya sendiri adalah korban eksploitasi itu. Kalau dipikir saya memang banyak kurangnya di mata media itu. Saya tidak pernah 10 tapi saya tidak pernah menyerah untuk 10.
Jam 08.00 pagi berangkat sudah harus menulis dua berita. Jam 17.00 harus sudah kelar.
Besoknya jam 08.00 pagi juga harus ada berita lagi.
Akhirnya saya tidak pulang jam 17.00 sore. Saya pulang hingga pukul 22.00. Tujuannya menunggu berita malam ini untuk saya pakai besok pagi.
Kinerja itu saya lakukan beberapa bulan.
Menyebalkannya berita yang saya tulis dengan target seperti itu ternyata, menurut saya adalah sampah.
Sampah karena narasumber saya itu-itu saja. Sampah karena topiknya itu-itu saja. Tidak pernah trending.
Apa penyebabnya? Kinerja yang buruk dan model target 10 berita itu sangat busuk menurut saya.
Mengapa saya bilang demikian?
Saya ceritakan. Saya akhirnya memutuskan untuk kerja di media yang lebih profesional atau boleh saya sebut media profesional.
Untuk memuat satu berita, itu dibutuhkan konfirmasi langsung. Kedua adalah ke lokasi. Semunya itu membutuhkan waktu.
Narasumber pun tidak sembarangan. Pertama harus berkompeten. Kedua harus relevan dengan kasus yang saya tulis.
Bukan pembunuhan tanya ke Wali Kota Malang. Bukan apa-apa tanya ke narasumber yang mudah ngomong.
Atas kinerja seperti itu walaupun butuh waktu, pembaca saya di media yang profesional ini banyak. Bahkan nama saya terdongkrak. Tulisan saya sempat menjadi perbincangan dan jadi sumber kebijakan narasumber.
Apa sebab? Media ini memperkerjakan saya layaknya manusia. Atau memberikan standar kerja ke pekerja sesuai manusia pencari informasi dan berita. Tidak terburu trending atau viral.
Yang penting lengkap dan juga yang penting cover both side. Waktu dikejar tapi tidak membabi buta.
Kalau di media sebelum ini dan sudah wafat, kinerja-kinerja jurnalistik seperti itu hanya mimpi.
Ke lokasi kejadian tidak akan mungkin. Target berita harus 10 satu hari, dan padahal tidak pernah tercapai. Bagaimana bisa saya menulis, merekam, mendengar sekaligus ke lokasi dalam waktu singkat? Dan kinerja itu membikin tulisan tidak ada news valuenya.
Saya tanya ke sejumlah penulis informasi atau wartawan atau jurnalis, apakah normal kerja seperti itu?
Rata-rata mereka sebut saya gila.
Jawaban itu awalnya tak saya gubris. Soalnya saya mungkin sudah gila.
Tapi akhirnya saya sadar atau waras saat keuangan di media itu kacau. Salah satu marketing berkata ke saya, saya harus cari uang atau iklan.
Perkataan itu membuat saya sudah muntap. Saya bekerja bagaikan kuda, kok bisa-bisanya media ini nyuruh saya harus kualitas tulisan oke, kuantitas banyak, dan suruh nyari uang untuk marketing. Saya benar-benar jadi robot. Saya keluar dari sana.
Beberapa bulan, kapal yang khayal itu hancur. Kinerja seperti robot itu sangat melelahkan dan menjengkelkan. Layak memang kebocoran dan kebocoran itu harus menenggelamkan kapal itu.
Akhirnya, saya membayangkan, jika kerja robot itu digunakan di momen besar seperti bencana atau tragedi, betapa bodohnya itu. Saya yakin informasi dan tulisan akan ‘nir empati’. Akan ada cacian dan makian!
Saya mending tidak menghamba kepada Traffic. Saya akan memanusiakan pekerja media. Atau sekali lagi memberikan standar pekerja media seperti manusia. Butuh waktu. Narasumber butuh waktu dikulik. Menulis butuh waktu. Mendengar butuh waktu. Ke lokasi butuh waktu.
Kalau saja menghamba ke traffic web atau Google Trend sah saja. Tapi semua itu perlu waktu. Waktu untuk berkembang. Seperti perkembangan manusia. Tidak dari bayi langsung berlari.
Discussion about this post