Universitas Brawijaya kembali mengukuhkan dua profesor, Sabtu (8/5/2021). Profesor pertama yakni Prof. Ir. Puguh Surjowardojo,MP di bidang Ilmu Manajemen Ternak Perah dari Fakultas Peternakan (Fapet). Ia merupakan profesor aktif ke 19 di Fapet dan profesor aktif ke 195 di UB serta menjadi profesor ke 279 dari keseluruhan profesor yang dihasilkan UB. Kedua, Prof. Dr.dr. Sri Andarini, M.Kes di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran (FK). Ia merupakan profesor aktif ke 17 dari FK dan profesor aktif ke-196 di UB serta menjadi profesor ke 280 dari keseluruhan profesor yang dihasilkan UB.
Prof. Ir. Puguh Surjowardojo,MP : Manajemen Pencegahan Mastitis Pada Sapi Perah FH Melalui Teat Dipping dengan Antiseptik Ekstrak Herbal

Pada industri sapi perah, mastitis merupakan momok yang menakutkan. Mastitis ini menimbulkan kerugian ekonomi yang amat besar, karena menurunkan produksi dan kualitas susu. Selain itu mastitis mengakibatkan kerugian karena infeksi yang terjadi pada sapi perah dapat dengan mudah menular kepada sapi perah lainnya.
Mastitis adalah suatu kondisi peradangan (inflammation) spesifik pada kelenjar mammae, akibat infiltrasi mikroba pathogen mastitis dalam puting (teat) atau akibat adanya luka yang dapat menimbulkan peluang infeksi baik secara akut, sub-akut maupun kronis.
Gejala klinis mastitis diantaranya pembengkakan pada ambing, meningkatnya suhu tubuh, nafsu makan menurun dan disertai perubahan komposisi susu maupun ambing. Mastitis subklinis ditandai dengan meningkatnya jumlah sel somatic dalam susu tanpa disertai pembengkakan ambing, jika susu diuji dengan California Mastitis Test (CMT) maka susu tersebut akan terkoagulasi. Sedangkan mastitis kronis ditandai dengan gejala pembengkakan ambing dalam waktu yang lama.
Demi pencegahan terjadinya mastitis pada sapi perah ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh peternak yakni pertama kondisi kandang dan lantai yang basah serta kotor menyebabkan sapi menjadi malas bangun. Posisi tersebut berpotensi meningkatkan paparan bakteri pathogen pada ambing dan puting. Kedua, kebersihan alat pemerah atau pemerah bisa meningkatan penularan mastitis pada sapi jika ia terkontaminasi bakteri mastitis. Ketiga, tidak adanya pembedaan pemerahan pada sapi yang terkena mastitis dan sapi yang sehat menyebabkan penularan pada sapi yang sehat. Keempat, tidak dilakukan teat dipping (pencelupan putting) . Teat dipping hendaknya dilakukan pemerah setiap selesai melakukan pemerahan untuk mencegah kontaminasi bakteri. Kelima faktor-faktor lainnya pun perlu diperhatikan seperti pergantian udara, iklim maupun ketersediaan air bersih.
Peningkatan kebersihan kandang dan petugas pemerah serta diikuti dengan teat dipping dengan larutan antiseptik merupakan cara yang dianjurkan sebagai bagian manajemen pemeliharaan sapi perah. Penggunaan larutan antiseptik yang mengandung yodium, larutan asam klorus serta kloroksida sebagai larutan teat dipping sebelum dan sesudah pemerahan terbukti efektif menurunkan insiden mastitis pada sapi perah.
Saat ini alternatif yang dikembangkan oleh penulis serta para peneliti lain di Indonesia adalah menggunakan larutan ekstrak herbal yang memiliki senyawa anti mikroba yaitu senyawa flavonoid, saponin dan tanin. Tanaman herbal ini terdapat disekitar lingkungan peternak seperti daun kersen, daun binahong, daun sirih hijau, daun sirih merah, daun beluntas, daun kelor, dan buah mahkota dewa ternyata memberikan hasil yang memuaskan karena ekstrak larutan tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri. Temuan tersebut perlu upaya untuk mewujudkan hilirisasi ekstrak herbal menjadi sediaan yang mudah terjangkau serta murah harganya bagi peternak rakyat untuk pencegahan mastitis. Manajemen pencegahan mastitis dimulai dengan mengenali sedini mungkin gejala subklinis mastitis, sehingga dapat mencegah kerugian yang berakibat pada tingginya morbiditas hingga mortalitas sapi perah.
Prof. Dr.dr. Sri Andarini, M.Kes : Penatalaksanaan Obesitas secara Holistik dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga

Obesitas merupakan penyakit kronis dengan prevalensi yang terus meningkat diseluruh dunia termasuk Indonesia dan akan meningkatkan beban ekonomi bagi masyarakat yang cukup besar. Survei Riset Kesehatan Dasar (RKD/Riskesdas) menunjukkan setiap tahun terjadi peningkatan prevalensi obesitas dari 10,5% pada tahun 2007 menjadi 14,8% pada tahun 2013 dan menjadi 21,8% di 2018. Obesitas sentral juga mengalami peningkatan cukup tinggi dari 18,8% pada 2007, 26,6% pada 2013, dan menjadi 31% pada 2018.
Di Kota Malang, prevalensi kejadian kelebihan berat badan menurut jenis kelamin didapatkan angka obesitas pada wanita lebih tinggi dari pada laki-laki, yaitu 15.70% overweight dan 33.78%, sedangkan obesitas pada laki-laki 12.98% mengalami overweight dan 13.71% mengalami obesitas
Obesitas dapat dideteksi dengan beberapa macam metode, yaitu (1) melalui pengukuran standar berat badan, (2) tabel tinggi badan dan berat badan, (3) indek massa tubuh (IMT), (4) lingkar pinggang, (5) ratio lingkar pinggang dan lingkar panggul, (6) skinfold caliper, atau (7) menggunakan peralatan yang lebih maju termasuk computed tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI) and dual energy X-ray absorption. Indeks massa tubuh, yaitu perbandingan antara berat badan dalam satuan kilogram dan tinggi badan dalam meter yang dikuadratkan. Lingkar perut digunakan untuk menentukan obesitas sentral (android), yaitu suatu keadaan dimana penimbunan lemak terjadi secara berlebihan dan jauh melebihi normal di daerah perut. Klasifikasi obesitas dengan parameter antropometri IMT (Tabel 1) dan lingkar perut (Tabel 2) adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Obesitas Menurut Nilai IMT
|
Klasifikasi |
Nilai IMT |
Kurus |
Kekurangan berat badan tingkat berat |
< 17,0 |
Kekurangan berat badan tingkat ringan |
17,0 – 18,4 |
|
Normal |
|
18,5 – 25,0 |
Gemuk |
Kelebihan berat badan tingkat ringan |
25,1 – 27,0 |
Kelebihan berat badan tingkat berat |
> 27,0 |
(Kemenkes-RI, 2019)
Tabel 2. Klasifikasi Obesitas Menurut Lingkar Perut
Jenis Kelamin |
Klasifikasi |
|
Normal |
Obesitas Sentral |
|
Laki-laki |
LP ≤ 90 cm |
LP > 90 cm |
Perempuan |
LP ≤ 80 cm |
LP > 80 cm |
Obesitas sentral: akumulasi jaringan lemak ada di perut (Kemenkes-RI, 2018)
Kondisi pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) masih didominasi pada pelayanan kuratif, masih kurang dukungan untuk melakukan kegiatan promotif, preventif, dan rehabilitatif. Saat ini biaya pelayanan kesehatan masih relatif tinggi untuk tatalaksana kuratif dalam menyelesaikan permasalahan kesehatan termasuk masalah obesitas. Di era Universal Health Coverage (UHC) yang telah ditetapkan oleh pemerintah melalui Jaminan Kesehatan Nasional, saat ini sudah diikuti oleh lebih kurang 80% penduduk Indonesia. Kondisi ini tidak akan berjalan dengan baik apabila sistem pelayanan kesehatan masih didominasi pelayanan kuratif tanpa diperkuat kegiatan promotif, preventif dan rehabilitatif. Oleh karena itu pendekatan kedokteran keluarga melalui peran dokter keluarga sebagai gatekeeper pelayanan kesehatan harus didukung dan berbenah dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Penyelesaian masalah obesitas dapat dilakukan dengan pendekatan kedokteran keluarga melalui prinsip-prinsip holistik komprehensif, bersinambung, kordinasi & kolaborasi, berorientasi pada pencegahan, dalam tatanan individu, keluarga dan komunitas. Prinsip holistik, artinya penyelesaian masalah tidak hanya ditinjau dari faktor biologi tapi juga ditinjau dari demensi psikologis, sosial, lingkungan serta berorientasi pada keluarga dan komunitasnya. Untuk memaksimalkan peran dokter keluarga perlu dibuat modul-modul penatalaksanaan obesitas menggunakan pendekatan kedokteran keluarga yang bertujuan untuk memudahkan dokter, penderita obesitas dan masyarakat memahami dan melaksanakan program intervensi obesitas.