Blitar, blok-a.com – Front Mahasiswa Revolusioner (FMR) melakukan kajian hukum terkait dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran berita hoaks yang diduga dilakukan Bupati Blitar terpilih periode 2024-2029 terhadap Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Kabupaten Blitar.
Dalam keterangannya, Selasa (7/1/2025), FMR menilai tuduhan yang dilayangkan Rijanto kepada KONI bukan sekadar kesalahan informasi, melainkan ancaman serius bagi integritas institusi dan kepercayaan publik.
Ketua FMR, Septyani Dwi Ningrum, menyoroti dugaan hoaks yang menyeret KONI terkait pengelolaan e-sport di Blitar.
“Tuduhan tak berdasar yang menyebar melalui media sosial TikTok telah mencoreng reputasi KONI, meskipun pembenahan e-sport telah dilakukan sejak 2022,” ujar Septyani.
Ia menambahkan, kasus ini bukan yang pertama terjadi di Blitar. Pada 2018 lalu, surat palsu yang mencatut nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mencemarkan nama baik mantan Bupati Blitar, Rijanto, serta aktivis antikorupsi Mohammad Trijanto.
“Kejadian ini menjadi pengingat bahwa penyebaran hoaks tidak hanya melukai individu atau lembaga, tetapi juga mencederai demokrasi dan supremasi hukum,” tegas Septyani.
Lebih lanjut, FMR menilai dugaan pencemaran nama baik tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 311 KUHP.
“Kami meminta aparat penegak hukum untuk segera mengambil langkah yang diperlukan, termasuk pengajuan laporan ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Koordinasi dengan pihak berwenang diharapkan dapat memastikan tidak ada hambatan dalam proses penegakan hukum,” pungkasnya.
Sebelumnya, pada September 2024, sebuah video di platform TikTok menyebarkan tuduhan bahwa KONI Kabupaten Blitar mengabaikan pengembangan e-sport. Video tersebut memicu keresahan publik hingga merusak citra KONI secara luas.
Kasus ini sempat dilaporkan KONI ke Polres Kabupaten Blitar pada 29 Oktober 2024. Meski Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) telah diterbitkan pada 31 Oktober 2024 dan pelaku sudah teridentifikasi, proses penyelesaian kasus dinilai lambat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa penegakan hukum belum cukup tegas dalam menangani ancaman hoaks. (jar/lio)