Kota Malang, Blok-a.com-Semenjak hari Sabtu, (22/4/2023), umat Muslim di seluruh dunia merayakan Idulfitri dan makan ketupat.
Selain bersilaturahmi, halal bihalal, dan salat Id, salah satu tradisi yang sangat erat dengan perayaan Idulfitri atau yang sering disebut Lebaran adalah makanan khasnya, yaitu ketupat.
Namun, tahukah pembaca bagaimana sejarah tradisi ketupat pada setiap perayaan hari raya serta makna filosofisnya?
Meskipun ketupat terkait erat dengan tradisi Lebaran, sejarah penggunaan ketupat sudah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan Pajajaran untuk upacara adat.
Selain digunakan pada tradisi Lebaran, ketupat juga dijadikan sebagai simbol upacara syukur dalam tradisi Sekaten dan Grebeg Maulud.
Ketupat memiliki makna filosofis yang sangat kaya dan mendalam.
Awal mula popularitas ketupat sebagai hidangan Lebaran dapat ditelusuri pada masa penyebaran Agama Islam di tanah Jawa oleh Sunan Kalijaga.
Ketupat adalah makanan yang terbuat dari beras yang dimasak dalam anyaman daun kelapa.
Sunan Kalijaga kerap menggabungkan unsur-unsur budaya Islam dengan budaya nusantara sebagai bagian dari upayanya dalam berdakwah di Jawa.
Pada masa itu, Sunan Kalijaga memperkenalkan Bakda Lebaran dan Bakda Kupat sebagai hari-hari penting dalam kalender Islam, di mana umat Muslim memasuki tanggal 1 Syawal tahun Hijriyah.
Untuk diketahui, Bakda Kupat dilaksanakan satu minggu setelah Hari Raya Lebaran.
Pada saat Bakda Kupat, masyarakat mempersiapkan hidangan ketupat untuk diberikan kepada sanak saudara, terutama yang lebih tua, sebagai simbol rasa persaudaraan dan kebersamaan.
Sunan Kalijaga membagikan ketupat kepada masyarakat pada momen Bakda Kupat sebagai sarana dakwah dan pendekatan budaya untuk mengajak orang Jawa memeluk agama Islam.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ketupat menjadi melekat di masyarakat Indonesia sebagai hidangan khas saat Lebaran.
Tidak hanya itu, ketupat juga memiliki makna filosofis yang mendalam.
Ketupat berasal dari kata “kupat” yang memiliki dua makna filosofis, yaitu “ngaku lepat” (mengakui kesalahan) dan “laku papat” (empat tindakan).
Empat tindakan yang dimaksud adalah luberan (memberikan dengan melimpah), leburan (memaafkan dan menghapus dosa), lebaran (pintu ampunan terbuka lebar), dan laburan (membersihkan diri dari segala dosa).
Lebih jauh lagi, isian beras pada ketupat diartikan sebagai hawa nafsu, sedangkan daun kelapa muda atau janur melambangkan “jatining nur” atau cahaya sejati dari hati nurani.
Jadi, makna filosofis ketupat adalah manusia yang menahan hawa nafsu dengan mengikuti hati nurani atau kebenaran yang sejati.