Seminar BEM FH Unisma: RKUHAP Dinilai Masih Multitafsir

Seminar Nasional yang digelar oleh BEM Fakultas Hukum Unisma (blok-a.com / Yogga Ardiawan)
Seminar Nasional yang digelar oleh BEM Fakultas Hukum Unisma (blok-a.com / Yogga Ardiawan)

Kota Malang, blok-a.com – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) mengadakan Seminar Nasional bertema Reformasi KUHAP: Menyongsong Era Baru Peradilan Pidana yang Progresif dan Berkeadilan. Acara ini berlangsung di Gedung Wahab Hasbullah Unisma pada Kamis (24/4/2025) dengan menghadirkan tiga narasumber, yakni Prof. Deni Setya Nagus Yuherawan, S.H., M.S, Dr. Prija Djatmika, S.H., M.S, dan Dr. Sholehuddin, S.H., M.H.

Dalam paparannya, Prof. Deni menekankan pentingnya konsistensi dalam pelaksanaan fungsi masing-masing lembaga penegak hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP. Ia menyampaikan bahwa tumpang tindih kewenangan justru merusak sistem hukum.

“Sudah clear. Saya selalu sering katakan di forum manapun bahwa kalau kita berkaca pada KUHAP, yang penting semua pihak konsisten menjalankan fungsi masing-masing tanpa intervensi. Jadi tidak usah overlaping,” ujarnya.

Ia juga mengkritisi draf terbaru Rancangan KUHAP (RKUHAP) yang kembali mencantumkan frasa “penyidik tertentu” dalam Pasal 1 dan Pasal 6. Menurutnya, frasa tersebut rawan menimbulkan multitafsir dan membuka ruang tumpang tindih kewenangan.

“Seharusnya RKUHAP bisa menjadi penyelesai masalah multitafsir itu. Tapi nyatanya, dalam draf terbaru, justru frasa yang memicu perdebatan itu dimunculkan lagi,” ungkapnya.

Di tempat yang sama, Dr. Sholehuddin menyoroti bahwa hukum acara pidana bertujuan untuk mengatur tata kerja aparat penegak hukum, bukan untuk mengatur pelaku kejahatan. Ia menyampaikan pentingnya pemahaman ini agar tidak terjadi perlombaan perluasan kewenangan antar lembaga.

“Yang perlu dipahami semua pihak adalah bahwa hukum acara pidana itu ditujukan mengatur aparatnya, bukan pelaku kejahatannya. Jadi bukan aparat yang kemudian berlomba-lomba memperluas kewenangannya,” jelasnya.

Ia juga mengkritik kurangnya pelibatan akademisi hukum pidana dalam pembahasan RKUHAP oleh Komisi III DPR RI.

“Yang seharusnya lebih banyak diajak berdiskusi oleh Komisi III itu para akademisi ilmu hukum pidana, bukan hanya aparat penegak hukum seperti penyidik, jaksa, advokat, atau bahkan Mahkamah Agung,” tambahnya.

Dr. Sholehuddin menegaskan bahwa semua prosedur dalam sistem peradilan pidana, seperti penahanan, penyitaan, hingga penyidikan, harus tunduk pada asas legalitas yang ketat.

“Hukum acara pidana itu menganut asas legalitas ketat. Hanya boleh diatur oleh undang-undang, bukan oleh Perpol, bukan oleh kerja, dan bukan pula oleh PERMA,” terangnya.

Sementara itu, Dr. Prija Djatmika menekankan pentingnya prinsip Mindfulness Participation atau partisipasi bermakna dalam penyusunan undang-undang. Ia menilai, partisipasi akademisi dan masyarakat sangat penting dalam menyusun RUU KUHAP yang strategis dan fundamental.

“DPR RI harus membahasnya dengan transparan, akuntabel dan dampak implikasi hukumnya dipikirkan serius. Masukan dari masyarakat, perguruan tinggi harus diperhatikan. Sehingga RUU KUHAP itu menjadi karya agung yang benar-benar menjamin hak asasi,” jelasnya. (yog)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?