Kota Malang, blok-a.com — Kelompok seniman street art Kota Malang menggelar sehuah pameran bertajuk “Menyerang Kota”.
Pameran tersebut diselenggarakan di gedung Dewan Kesenian Malang (DKM). Masing-masing dari para seniman hebat ini menyumbangkan karya mereka berupa grafiti, poster, mural, dan lain sebagainya.
Pameran “Menyerang Kota” ini merupakan gerakan sosial yang mengkritik akan segala tindakan represif yang dilakukan dalam menangani kasus Tragedi Kanjuruhan.
Pameran ini bukan sekedar penanda 100 hari Tragedi Kanjuruhan, melainkan gerakan moral kemanusiaan dan mempertahankan harga diri untuk melawan penindasan dan menolak untuk bungkam.
Hal tersebut dilakukan juga oleh seorang alumnus Universitas Brawijaya dari program studi seni rupa murni yang bernama Chodir (25).
Chodir membuat sebuah karya lukis bergaya kolase yang merepresentasikan kurangnya kebijaksanaan kepolisian dalam mengambil sikap di Tragedi Kanjuruhan.
“Ini menceritakan tentang polisi yang kurang bijaksana dalam mengolah sabar, yang seharusnya mengayomi masyarakat tapi malah salah ambil sikap,” jelas Chodir pada wartawan blok-a.com, Senin (9/1/2023).
Kurangnya kebijaksanaan tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia saja atau Tragedi Kanjuruhan. Chodir menggambarkan beberapa tragedi yang terjadi di seluruh dunia.
“Seperti contohnya adalah tragedi di Argentina, ada juga saya cantumkan tragedi dari London, dan masih banyak lagi,” tuturnya.
Lukisan tersebut ia tuangkan dalam sebuh media berupa kertas daur ulang. Media daur ulang tersebut juga merepresentasikan bahwa kebijaksanaan dalam bersikap sebagai aparat haruslah terus didaur ulang.
Selain itu, Chodir juga menjelaskan beberapa detail dalam karya yang dia buat. Salah satunya adalah polisi yang sedang sendirian berada di ruang putih.
“Kalau yang itu, saya ingin menunjukan bahwa polisi juga manusia yang membutuhkan tempat untuk bernapas lega agar mereka bisa mengambil sikap yang bijak,” tuturnya.
“Namun, sisi gelap kepolisian juga harus dipertimbangkan seperti yang saya gambarkan di sini,” tambahnya sembari menunjuk tiga polisi yang sedang berasa di sebuah tempat gelap gulita.
Untuk menunjang nilai estetika, Chodir merangkum kebutuhan visualnya itu dengan komposisi yang miring dan seolah-olah tidak utuh karena kesempurnaan hanya milik tuhan.
Percakapan blok-a dan Chodir ditutup dengan
harapan untuk pihak kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya jika melihat karyanya yang dibuat selama 6 hari tersebut.
“Kalau misal ada polisi yang melihat dari pihak yang merasa entah itu terlepas dari salah atau benar, tolong memanusiakan manusia saja lah jangan terburu-buru mengambil sikap apalagi karena adanya kepentingan yang tidak sesuai dengan nurani dan moral,” pungkasnya. (mg1/bob)
Discussion about this post