Banyuwangi blok-a.com – Banyuwangi sebuah kabupaten paling ujung timur pulau Jawa memang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Selain itu, juga terkenal dengan produk-produk home industri yang bermutu, salah satunya produsen gula aren.
Desa Banjar, salah satu desa dari 189 desa yang ada di Banyuwangi terkenal akan gula arennya yang bermutu.
Bahkan, Desa Banjar, Kecamatan Licin, Banyuwangi ini letaknya di bawah kaki gunung Ijen, selain memiliki tempat wisata yang menarik, desa Banjar terkenal akan gula aren, dan produsen gula aren terbesar di Banyuwangi.

Desa Banjar memiliki luas wilayah sebesar 4,36 kilometer persegi, dengan geografi perbukitan, dan letak daerahnya 500 meter dari permukaan laut (mpdl)
Selain terkenal akan wisata dan gula aren, tidak semua warganya memproduksi gula sebagai mata pencahariannya. Warga setempat juga menjadi petani, dan lahan milik petani tidak hanya ditanami padi, namun ditanami berbagai komoditas seperti kopi, buah-buahan, kopi serta pohon aren. Bahkan pohon aren ini banyak dijumpai di dusun-dusun desa setempat.
Nah, dari pohon aren inilah, Pemerintah Desa (Pemdes) Banjar mendorong warganya untuk memproduksi gula aren.
Kepala Desa Banjar, Sunandi mengatakan desa Banjar memiliki 4 dusun, yakni Dusun Putuk, Dusun Krajan, Dusun Rembang, dan Dusun Salakan.

“Di desa Banjar ini ada puluhan produsen gula aren,” kata Sunandi.
Sunandi mengungkapkan, produksi gula aren sudah dilakukan sejak jaman dulu, dan berlangsung secara turun temurun. Dikarenakan dikerjakan secara tradisional, produksinya tidak bisa besar.
“Home industri desa Banjar ini ya gula aren ini, namanya saja produksi rumahan ya masih skala kecil,” paparnya.
Letak desa Banjar yang jauh dari ibu kota kabupaten, ingin memiliki ciri khas, dan menjadi desa yang otentik lewat tradisi dan sajian kulinernya.
Sajian kulinernya, tidak lepas dari gula aren dan sudah dikenal oleh masyarakat Banyuwangi yaitu Kopi Uthek dan Cimplung.
Kades Banjar menceritakan asal muasal Kopi Uthek. Kenapa sih disebut Kopi Uthek?, Kopi Uthek bedanya dengan kopi-kopi yang biasa diseruput oleh penikmat kopi tersebut bedanya dari penyajiannya, Kopi Uthek disajikan dalam secangkir kopi pahit dengan gula aren yang terpisah.
“Cara menyeruputnya, gula aren digigit dulu, kemudian kopinya diseruput. Setelah kopi dan gula aren tercampur dalam mulut akan menghasilkan rasa kopi yang berbeda, unik dan sangat nikmat,” jelas Kades Banjar sembari menyeruput kopi Uthek.
Kenapa disebut Kopi Uthek, lanjut Sunandi saat gula aren tersebut digigit akan berbunyi ‘thek’ dari bunyi itulah masyarakat menyebutnya Kopi Uthek.
Sedangkan kuliner Cimplung kata Sunandi sebuah makanan berbahan dasar kudapan ini adalah ketela atau singkong. Masyarakat desa Banjar biasanya membuat Cimplung ketika memasak Nira untuk dijadikan gula aren.
Proses pembuatan Cimplung tidaklah sulit atau ribet. Ketika nira mendidih, hampir menjadi pasta gula aren, singkong yang sudah dibersihkan langsung dicemplungkan.
Setelah singkong sudah matang, kemudian ditiriskan, kemudian diangin-anginkan sebentar kemudian gula aren di permukaan singkong akan mengeras orang bilang terkaramelisasi.
Untuk diluar desa Banjar, ada kuliner sejenis Cimplung, namun Cimplung di daerah lain cenderung berkuah, kayaknya kolak.
“Biasanya, kalau orang makan Cimplung produksi daerah lain akan terasa “eneg” karena bahannya mempergunakan gula merah biasa sebagai bahan pemanisnya,” terangnya.
“Apalagi, makan Cimplung dan menikmati kopi Uthek di area persawahan, layaknya pelesir di daerah Ubud Bali. Makanya, banyak wisatawan sangat senang tamasya di sini,” tambahnya.
Suroso (57) salah satu produsen gula aren mengaku menggeluti usaha gula aren ini sejak usia remaja. Keterampilan membuat gula aren diwarisi secara turun temurun dari orang tuanya.
Menurut Suroso, dirinya membuat gula aren ini bukan pekerjaan utama, merupakan pekerjaan sampingan.
“Pekerja utama saya ya bertani, karena dilahan persawahan banyak pohon aren ya kamu manfaatkan,” ucapnya.
Kegiatan membuat gula aren ini, dilakukan Suroso ketika berangkat ke sawah, sembari “Menderes” atau menyadap nira.
Menurutnya, dari calon buah aren yang di ‘deres’ akan keluar airnya. Air ini akan ditampung disebuah wadah (tempat) yang terbuat dari bambu yang panjangnya kira-kira satu meteran, wadah ini mampu menampung air nira sekitar tiga liter.
“Sebelum saya bertani, saya nderes dulu, setelah itu, sepulang bertani atau sore hari akan saya ambil,” kata pria paruh baya itu.
“Nira yang diambil ini, tidak langsung saya olah. Saya kumpulkan dulu, dirasa sudah cukup baru diolah,” timpal Isridah (55) istri Suroso.
Nira yang sudah diambil tidak langsung diproses. Nira sementara dikumpulkan hingga jumlahnya cukup baru kemudian diolah.
Menurut Isridah setiap proses gula aren, dirinya mampu menghasilkan 20 log gula aren. Gula aren bikinannya berbentuk tabung dengan panjang sekitar 15 cm.
“Kami menjual gula aren itu bijian. Satu biji harganya Rp 10 ribu. Alhamdulillah, setiap harinya, dari gula aren kami mendapat penghasilan sebesar Rp 200 ribu. Gula aren itu tidak saya pasarkan ke pasar sudah ada yang ngambil kerumah saya,” pungkasnya. (Kuryanto)
Discussion about this post