Blok-a.com – Belakangan ini ramai di media sosial sebuah video kerusuhan antara warga dengan aparat kepolisian di Dago Elos Bandung, Jawa Barat.
Kerusuhan yang terjadi pada Senin (14/8/2023) malam itu rupanya dilatarbelakangi polemik masalah sengketa tanah.
Dirangkum Blok-a.com, Rabu (16/8/2023), berikut deretan fakta soal kerusuhan yang terjadi di Dago Elos, Kota Bandung.
1. Berawal Dari Sengketa Lahan
Kerusuhan Dago Elos ini bermula dari gugatan yang dilayangkan oleh empat pihak atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha pada tahun 2016 lalu.
Dalam gugatannya, empat pihak tersebut mengklaim bahwa lahan seluas 6,3 hektare di permukiman Dago Elos-Cirapuhan merupakan hak warisnya.
Mereka juga mengaku memiliki tiga sertifikat eigendom verponding (pembuktian kepemilikan tanah yang dibuat di era Hindia Belanda) dari kakeknya yakni George Hendrik Muller.
Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa George Hendrik Muller merupakan kerabat dari Ratu Wilhelmina yang ditugaskan di Indonesia.
2. Warga Sempat Menang Persidangan
Atas sengketa lahan tersebut, Heri Hermawan Muller cs dan warga Dago Elos pun saling melayangkan gugatan. Pada 24 Agustus 2017, majelis hakim PN Bandung memutuskan untuk mengabulkan gugatan keluarga Muller.
Menanggapi gugatan tersebut, warga bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Namun sayang, banding tersebut ditolak.
Tak menyerah, warga kembali mengajukan kasasi ke MA. Ditingkat kasasi ini, MA mengabulkan permohonan warga dan membatalkan putusan sebelumnya.
Tak terima dengan putusan tersebut, pihak keluarga Muller kemudian mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) hingga akhirnya mereka dinyatakan sebagai pemilik sah tanah dan warga Elos pun terancam digusur.
3. Warga Laporkan Dugaan Pemalsuan Surat
Tak puas dengan hasil persidangan, warga Elos kemudian melaporkan keluarga Muller atas dugaan pemalsuan dokumen. Namun sayang, laporan tersebut ditolak oleh pihak kepolisian dengan alasan sang pelapor tidak memiliki sertifikat tanah.
Perwakilan warga yang didampingi oleh kuasa hukumnya itu pun kecewa dengan penolakan dari pihak kepolisian. Ketegangan pun sempat terjadi antara petugas dan perwakilan warga di kantor polisi.
“Rombongan warga memutuskan untuk meninggalkan Polrestabes dengan perasaan kecewa,” ujar Kuasa hukum warga, Rizki Ramdhani, dikutip dari CNNIndonesia.
4. Warga Turun ke Jalan
Masih kecewa dengan penolakan laporan yang telah diajukan, pada malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB, warga kembali melakukan protes di Terminal Dago dengan melakukan blokade jalan.
Beberapa saat kemudian, sejumlah anggota kepolisian mendatangi lokasi untuk melakukan negosiasi. Dalam negosiasi itu, warga sepakat membubarkan diri dengan syarat laporan terkait sengketa lahan diterima oleh polisi.
Disaat kesepakatan berlangsung, tiba-tiba terdengar suara letusan gas air mata. Sontak hal itu memicu kerusuhan, hingga akhirnya warga melempari petugas dengan batu.
“Terjadi penembakan gas air mata yang dilontarkan dari arah utara ruas jalan Dago atau tepat belakang barisan warga oleh aparat kepolisian yang menggunakan motor,” ujar kuasa hukum warga.
5. Penjelasan Polisi Soal Gas Air Mata
Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Budi Sartono memastikan tidak ada penembakan gas air mata ke pemukiman setempat di Dago Elos.
“Tidak, kita hanya di jalan raya tidak ada yang ditembakkan di ke pemukiman, hanya untuk membuka jalan saja,” kata Budi Sartono
Menurutnya, gas air mata ditembakkan oleh polisi setelah petugas mendapat pelemparan batu dan botol. Budi juga memastikan telah mengumpulkan bukti.
“Yang pasti kami dapat lemparan batu dengan botol, ada botol sekarung dan ada anggota kami ini terluka kena batu, kami yang pasti tidak melakukan tindakan tegas pada warga, tapi pada pelaku yang melakukan anarkis,” katanya.
(hen)