Kota Malang, blok-a.com — Media sosial Twitter sedang diramaikan oleh sebuah cerita terkait korban pelecehan seksual yang mengaku hypersex setelah dilecehkan.
Cerita tersebut diangkat oleh sebuah akun bernama @tubbirfess. Pengirim cerita meminta dirinya untuk tetap anonim.
“Kadang aku ngerasa dosa banget karena hypersex, dan semua ini berakar karena dulu aku pernah dilecehin. Bukannya harusnya aku trauma ya?” ujar pengirim.
Hal itu disampaikan di sebuah utas bernama Walk Of Tubi (WOT) 2023. Sebagai informasi, akun @tubbirfess sering melakukan WOT sebagai tempat pengakuan dosa para pengikutnya. Tentunya, pengakuan tersebut akan disebar di hadapan khalayak umum dengan consent para pengirimnya.
Pengakuan WOT kali ini cukup membuat iba para pembacanya. Salah satu akun bernama @tapihanyadibaca mengatakan bahwa hypersex yang terjadi pada korban bisa jadi termasuk PTSD.
Pengguna akun @tapihanyadibaca juga menyebarkan beberapa jurnal yang meneliti terkait hal tersebut.
Salah satu jurnal yang dibuat oleh Cecilia Fredlund dengan judul “Self-reported frequency of sex as self-injury (SASI) in a national study of Swedish adolescents and association to sociodemographic factors, sexual behaviors, abuse and mental health” menyatakan bahwa 100 anak perempuan dari 5750 siswa dilaporkan melakukan SASI.
Penelitian tersebut dilakukan pada 5750 siswa kelas 3 sekolah menengah di Swedia dengan rata-rata usia adalah 18 tahun.
Beberapa korelasi dengan faktor sosiodemografi tercatat dalam penelitian tersebut, tetapi para responden dibebani dengan lebih banyak pengalaman pelecehan seksual, fisik dan emosional.
Orientasi non heteroseksual, gejala trauma, melukai diri sendiri tanpa bunuh diri dan perawatan kesehatan untuk upaya bunuh diri, depresi dan gangguan makan adalah hal yang biasa terjadi pada para responden.
Blok-a.com menanyakan hal tersebut pada Fuji Astutik, Psikolog UIN Malang. Fuji membenarkan bahwa pelecehan seksual bisa menimbulkan symptoms atau gejala hypersexual.
“Bisa jadi memang dampak dari perilaku pelecehannya yang membuat dia trauma memunculkan symptoms atau gejala hyper. Namun tidak bisa di generalisasi untuk semua kejadian,” tutur Fuji pada wartawan Blok-a.com, Senin (2/1/2023).
Faktor lain yang bisa membedakan apakah hypersexual yang terjadi termasuk PTSD atau bukan, menurut Fuji, dapat dilihat dari coping mechanism terhadap stressnya, pengalaman kehidupan, karakteristik kepribadian, support system dari lingkungan, serta bentuk pelecehan yang dialami.
Fuji juga mengimbau kepada masyarakat yang pernah mengalami pelecehan seksual agar melaporkan hal tersebut pada pihak yang berwenang, lalu bercerita kepada orang yang bisa dipercaya.
“Jika dirasa setelah kejadian ada perasaan yang tidak nyaman, ceritakan pada orang yang dipercaya, bisa teman dekat atau keluarga dekat, lebih baik lagi jika kepada profesional,” pungkasnya. (mg1/bob)
Discussion about this post