Sejarah Gereja Immanuel di Kota Malang Berdiri Lebih dari Satu Abad

Potret Gereja Immanuel Kota Malang (foto : Dinda files wordpress)

 

Kota Malang, Blok-a.com – Gereja Immanuel di Kota Malang merupakan saksi bisu perjalanan sejarah. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, atau yang dikenal sebagai Gereja Immanuel atau Gereja Jago, ini merupakan satu dari dua gereja lain Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY), atau Gereja Kayutangan, serta Gereja Santa Theresia, atau yang sering disebut Gereja Katedral Ijen yang dibangun pada tahun berdekatan.

Ketiganya merupakan bangunan gereja pertama yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan saat ini, mereka telah menjadi landmark bersejarah Kota Malang.

Gereja Immanuel, dimulai pembangunannya pada tanggal 30 Juli 1861, dan resmi digunakan sebagai tempat ibadah orang Belanda dan Eropa pada 31 Oktober di tahun yang sama. Pendeta pertamanya, JFG Brumund yang meninggal di Malang pada tahun 1863.

Gaya arsitektur Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan yang bergaya gotik mencerminkan ciri khas gereja pada pertengahan abad ke-19, baik itu gereja Protestan maupun Katolik. Sementara Gereja Katedral Ijen memiliki gaya neogotik, menggambarkan perkembangan arsitektur gereja setelah abad ke-19.

Meskipun Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan terletak sekitar 250 meter terpisah, lokasi keduanya memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan pembangunan pusat kota oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel, Pendeta Richard Agung Sutjahjono, menjelaskan bahwa pembangunan Gereja Immanuel oleh Pemerintah Hindia Belanda terkait erat dengan pembangunan pusat Kota Malang sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi. Hal ini mencakup pembangunan alun-alun, gereja, masjid, bank, penjara, kantor pos, tempat hiburan, serta pertokoan untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan warga kota, terutama warga Belanda dan Eropa lainnya.

Gereja Immanuel bahkan menjadi ‘tetangga’ dekat Masjid Agung Jamik, yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada periode 1890-1903. Kedua tempat ibadah ini berdekatan, dipisahkan hanya oleh sebuah bangunan perusahaan asuransi milik negara, dan keduanya menghadap alun-alun atau persisnya di barat alun-alun.

Pembangunan Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik juga dapat dilihat sebagai strategi politik imperialisme Pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran Kota Malang, yang sudah terbentuk sejak tahun 1729. Saat itu, ketika Kota Malang masih merupakan bagian dari Karesidenan Pasuruan.

GPIB Immanuel sendiri telah ditetapkan jadi cagar budaya oleh Pemerintah Kota Malang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Sebagai hasilnya, gereja ini tidak diperbolehkan untuk mengalami perubahan atau penambahan bangunan baru.

Kota Malang memiliki warisan sejarah yang tak ternilai, Gereja Immanuel terus menjadi saksi bisu perjalanan panjang Kota Malang. Hingga kini, gereja tersebut masih beroperasi dan dijaga keasliannya. (mg2/bob)