Oleh: Dyah Purbo Arum Larasati *
Sekuel film Ip Man begitu indah dan memukau. Film yang memiliki empat sekuel ini menceritakan tentang aksi bela diri atau kung fu China (martial arts), aliran Wing Chun dari kota besar di rovinsi Guangdong, China, yaitu Foshan.
Dibintangi oleh Donnie Yen, yang aslinya merupakan anak dari ibu yang memperdalam ilmu kung fu, film ini tidak gagal dalam memberikan keluwesan gerak, seni, filosofi, dan etika yang mendalam.
Lebih dari itu, jika penikmat film ini menyelidiki lebih jauh, pada hakikatnya penonton selalu diajak untuk berpikir lokal, regional, nasional, maupun global.
Tidak keliru, dengan kepopuleran film Ip Man, Donnie Yen menjadi aktor yang semakin berada di bawah lampu sorot. Satu hal yang akan dialami aktor atau aktris ketika berhadapan dengan kritikan dan impression dari publik.
Menariknya, Donnie Yen pernah berpindah kewarganegaraan dari China ke Amerika pada usia 11 tahun. Lalu pada 2010, ia memutuskan untuk kembali menjadi warga negara China. Dan kini, Donnie menetap di Hong Kong alhasil pilihan karir dan keberadaan keluarga istrinya di sana.
Karir yang hebat tidak menutup kritikan publik untuk hadir. Beberapa di antaranya yang membuat hits adalah ketika Donnie Yen diminta mundur dari terpilihnya ia menjadi presenter Oscars pada 12 Maret 2023.
Permintaan keras ini dilayangkan oleh sebuah petisi, berawal dari pernyataan Donnie Yen dalam sebuah interview pada 2019 silam.
Saat itu Donnie menyebutkan bahwa aksi di Hong Kong adalah sebuah kerusuhan (riot), bukan protes rakyat apalagi demonstrasi damai.
Tong Wai-Hung, seorang aktivis Hong Kong, bersama para jebolan aktivis insiden Tiananmen 1989 lainnya membuat petisi tersebut. Mereka berhasil meraup 110000 tanda-tangan, lalu mengklaim bahwa pernyataan Donnie adalah bentuk pengejekan terhadap rakyat Hong Kong. Pernyataan menjijikkan, merusak citra dan reputasi industri film.
Donnie membalas dengan pernyataan super calm dan rasional. Ia merujuk pada kewajiban tiap warga negara untuk mencintai tanah airnya. Tidak ada satupun pihak yang dapat merebut kemerdekaan itu. Tidak dari sistem atau provokator horizontal yang cenderung cancel culture, atau online cyber-bullying yang hipokrit.
Bagaimana pun, Donnie mengapresiasi usaha pemerintah China dalam mengakomodir kemajuan di seluruh kota dan desa. Terlebih merangkul daerah istimewa seperti Hong Kong dan Makau dalam pengurusannya.
Donnie mengungkapkan bahwa jarang dan bahkan nihil sekali potret modern China ditunjukkan oleh media Barat. Baik itu pembangunan masif jalan raya, hingga pendirian bangunan dan fasilitas umum yang semakin mempermudah kehidupan sehari-hari rakyat China. Ia meyakini bahwa negara-negara yang pernah ia kunjungi bahkan belum ada yang melampaui kemajuan China saat ini.
Pada 1 Juli 2020 silam, Donnie mengunggah postingan di media sosialnya. Menunjukkan ia sedang bermain piano ketika menghadiri hari perayaan 23 tahun kembalinya Hong Kong ke pangkuan China.
“Mengenang kembali malam yang mengesankan di tahun 2017, dimana saya diberi kesempatan istimewa untuk bermain piano bersama Maestro Lang Lang di hadapan Presiden Xi Jinping dan istri beserta ratusan tamu undangan yang hadir untuk menonton ragam pertunjukan dan merayakan malam tersebut.”
Penampilan Donnie mendapat applause dari Presiden Xi yang menyebut bahwa performance Donnie dalam tuts piano cukup menghenyakkan dibanding aksi film laganya. Namun Xi juga berharap semakin banyak andil Donnie hadir dalam dunia perfilman nasional, global.
Dipahami bahwa dunia hiburan selalu berusaha dirangkul oleh sistem yang berkuasa untuk menjalankan visi-misi tertentu. Jika di Barat ada hollywood seperti Rambo yang menonjolkan kehebatan negara adidanya dan aliansi, yaitu menyajikan negara berkembang dalam filter sepia, retro (terbelakang), maka di Timur akan cenderung reprisal dibuat. Contohnya film Ip Man ini, yang dalam tiap series-nya memasang the so called Chinese common enemies.
Apakah hal tersebut salah? Dalam perspektif studi keamanan tidak ada yang salah. Tiap negara berusaha meningkatkan kapasitas keamanannya tepat setelah atau ketika negara lainnya berusaha meningkatkan power tersebut. Tinggal dikalkulasikan kembali upaya balancing of power itu bertujuan menjadi nilai defensif yang aktif membantah tuduhan, atau ofensif yang aktif merugikan bangsa lain.
Sebegitu unik dan menariknya sisi keamanan dan nilai-nilai kebangsaan dapat digali dari dunia perfilman. Sayangnya, film dan tontonan di tanah air kita Indonesia cenderung memberi konsep hiburan semata. Tanpa ada esensi lebih yang dapat digali dari segi tantangan regional, nasional, dan global.
Apakah sebegitu rumitnyakah memasukkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam dunia entertainment Indonesia, dibanding mengimpor budaya bangsa lain dan meminimkan sejarah bangsa sendiri?
Atau warga negara ini yang turut mendukung produk komersil perfilman kian terpuruk? Alhasil market nasionalis yang turun drastis?
Atau ini karena hidup yang terlalu menjemukan, hingga membuat stress meningkat, dan konsumsi hiburan semakin beralih pada hal-hal trivial kurang esensi?
Di lain sisi, jika ada sosok atau orang-orang yang mencoba memberi ruang hiburan inovatif, memunculkan ide anti-mainstream, hal itu secara impulsif disebut sebagai “sok nasionalis”, atau yang lebih kasar lagi: “buzzer pemerintah.”
Tunggu, sebegitunyakah membenci pemerintah yang berkuasa saat ini? Apakah benar secara holistik pemerintahan ini salah? Tidak adakah sebagian atau beberapa hal kecil yang dapat diapresiasi? Yang baik dipuji, yang kurang dirangkul dan disodori saran lagi?
Ruang media sudah sedemikian dahsyatnya otonom. Selama tidak keluar SARA, segalanya sudah diberi jalur. Jikapun terdapat kendala, hanya sekelompok oknum yang menjadi biangnya. Sisanya, banyak masih terbuka.
Berbicara tentang industri hiburan lagi, terutama yang konstruktif, belum lengkap jika tidak menyinggung Deddy Corbuzier. Dengan konten yang menghibur, bahasa merakyat, namun narasumber yang diundang berbakat. Sebenarnya konten Deddy bukan bernapaskan gaya baru – mestinya dapat diapresiasi pemerintah.
Hal yang justru berseberangan ketika perwakilan dari publik itu sendiri yang maaf (tidak bermaksud menyinggung, namun sekadar berpendapat) – bahwa konten Ria Ricis belum seyogyanya patut dimenangkan dalam award baru-baru ini.
Meski begitu, pemberian pangkat Letnan Kolonel Tituler dari TNI AD untuk Deddy tahun lalu boleh juga diperjelas ke publik. Yaitu dalam konteks urgensi perang atau sisi pertahanan seperti apa tokoh yang menerima gelar tersebut dapat bergerak?
Dalam alasan apa seseorang dapat menerima gelar yang disebut sangat mahal ini? Alhasil demi mencapainya, seorang tentara harus menjalani pelatihan bertahun-tahun dahulu.
Frontalitas dari Ibu Dr Connie Rahakundini Bakrie cukup tegas tentang hal ini, misal: apakah dikarenakan jumlah followers Deddy (bantahan: kenapa tidak Atta atau Ria?).
Apakah karena Deddy mahir dulunya bermain sulap (pujian: ini hebat jika Deddy mampu menghilangkan tanker atau kapal selam ketika terkena attack, lalu tiba-tiba mampu meletak bom nuklir berhulu ledak kecil di garis pertahanan musuh).
Hal yang sangat perlu lebih jauh diteliti dalam dunia entertainment bukan itu saja. Sebab, fenomena asa anak Indonesia untuk menjadi content creator, meraih viral, dan memeluk star syndrome semakin meluas. Namun sayangnya, di sisi bersamaan mereka enggan mengisi cawan sendiri. Lupa bahwa dunia bintang hanya sesaat gemerlapnya. Ilmu pengetahuan dan kemampuan teknologi harusnya jadi pegangan utama.
Jika disebut beberapa nama anak atau remaja tersebut, misalnya: Jeje, Roy, dan Bonge dari Citayam, Fajar Sad Boy, dsb – beberapa orang menjadi galak dengan mengatakan,
“Jangan membeda-bedakan anak bangsa. Mereka memilih itu karena rezekinya di situ.”
Tentu, setiap kita memiliki rezeki yang jalan dan kadarnya berbeda. Dan tidak ada yang mengatakan bahwa mereka semua bukan anak republik ini, bukan?
Sepertinya pelajaran ilmu logika dan semiotika perlu dimasukkan dalam kurikulum wajib bangsa ini. Atau mungkin Bahasa Indonesianya saja yang harus semakin diintensifkan? Sebab, yang disampaikan apa, yang dijawab dan digubris apa. Tidak nyambung.