Blok-a.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Pandeglang akhirnya buka suara soal viralnya kasus pemerkosaan dan penyebaran video porno (revenge porn) yang dialami seorang mahasiswi.
Seperti yang ramai diberitakan sebelumnya, Kejari Pandeglang belakangan ini menjadi sorotan lantaran disebut memihak pelaku pemerkosaan mahasiswi, Alwi Husen Maolana (22).
Kasus pemerkosaan itu pertama kali dibagikan oleh kakak korban melalui akun Twitter @zanatul_91 pada Senin (27/6/2023). Dalam cuitannya, kakak korban menyebut bahwa adiknya telah mendapatkan tindakan kekerasan seksual dari Alwi sejak tiga tahun terakhir.
Selain itu, korban juga kerap diancam pelaku dengan cara menyebarkan video asusilanya. Ancaman tersebut dilakukan karena pelaku ingin menjadi pacar korban.
“Adik saya diperkosa. Pelaku mmaksa mnjadi pacar dgn ancaman video/revenge porn. Slama 3 thn ia brtahan penuh siksaan,” tulis kakak korban dalam keterangan unggahannya.
Lebih lanjut, kakak korban menyebutkan adanya kejanggalan dalam penanganan di Pengadilan Negeri (PN) Pandeglang. Bahkan ia menyebut mendapat tindakan intimidasi dari pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang.
“Prsidangn dipersulit, kuasa hukum & keluarga sy (korban) diusir pngadilan. Mlapor k posko PPA Kejaksaan, malah diintimidasi,” lanjut kakak korban.
Tak lama setelah cuitan itu viral, Kepala Kejari Pandeglang, Helena Octaviane, pun membantah tudingan tersebut. Helena mengatakan bahwa pihaknya sama sekali tidak melakukan intimidasi terhadap keluarga korban.
“Pada Senin sesudah sidang, korban datang ke kejaksaan. Ngobrol disitu maksud abangnya ingin melaporkan pemerkosaan, kami tahunya kasus ITE, berkas dari Polda ke Kejati jadi sudah cerita. Kami sempat bilang ya sudah nanti dilaporkan ke polisi dengan data yang ada, tapi nanti visumnya bagaimana ya soalnya kan perkaranya tiga tahun lalu,” bantah Helena saat melakukan zoom meeting bersama Kajati Banten, Senin (26/6/2023), dikutip dari BantenNews.
Wanita berusia 47 tahun itu pun terkejut saat disebut mengintimidasi korban, lantaran sebelumnya, ia mengaku sempat memberikan sebuah boneka kepada korban sebagai bentuk dukungan.
“Di posko, kami sempat memberikan suvenir boneka sampai korban bilang ‘Kok dikasih boneka, kayak anak kecil saja’, apa itu bentuk intimidasi? Saya bingung. Boneka itu bentuk kasih sayang kami bahwa boneka itu lambang cinta,” lanjut Helena.
Helena juga mengaku tidak melarang keluarga korban menggunakan pengacara. Ia hanya menanyakan alasan menggunakan pengacara, karena menurutnya jaksa telah mewakili pihak korban dalam persidangan.
“Saya juga dikasih tahu karena korban ada pengacara. Saya bilang, ‘Kok pake pengacara, kami sudah mewakili korban loh’. Biasanya yang pakai pengacara terdakwa,” ucap Helena menirukan ucapannya kepada pihak korban.
Terkait adanya larangan masuk ke ruang sidang, Helena menjelaskan bahwa kebijakan itu telah diputuskan oleh majelis hakim lantaran persidangan dilakukan secara tertutup.
“Saat pengacara keluarga masuk, itu yang mengatur adalah hakim dan pengadilan, bukan dari jaksa. Kita tidak pernah mengusir, kami tidak pernah mengusir ataupun melarang masuk. Yang mengizinkan atau memberikan penetapan tetap hakim di pengadilan,” ujarnya.
(hen)