Kota Malang, blok-a.com – Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang menganggap replika Lokomotif Lori yang berada di zona tiga Kayutangan tak sesuai dengan sejarah Kota Malang.
Sekretaris TACB Kota Malang, Rakai Hino Galeswangi menilai, pemasangan replika alat transportasi Lori tersebut tidak tepat. Sebab menurutnya replika yang seharusnya dipasang adalah replika transportasi Trem.
Dirinya juga menjelaskan antara Trem dan Lori jauh berbeda. Singkatnya Lori adalah alat transportasi pengangkut tebu, sedangkan Trem adalah alat transportasi yang secara umum mengangkut manusia.
Bahkan, jika dilihat secara ukuran pun juga beda, ukuran rel Lori lebih sempit dibanding dengan rel Trem.
“Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus pergantian rel trem ke rel lori di pada jalur antara Pasuruan-Winongan. Lebih tepatnya pada jalur Warungdowo-Winongan,” terang Rakai Hino.
Karena pihak pengelola Trem tidak memperpanjang kontrak, lanjut Rakai, maka ditutuplah transportasi tersebut pada tahun 1988 silam.
“Selanjutnya jalur tersebut dimanfaatkan oleh Pabrik Gula Kedawung hingga kini namun relnya diubah menjadi lebih sempit yang diperuntukkan sebagai transportasi pembawa tebu yakni Lori,” imbuhnya.
Lebih dalam, Rakai menjelaskan wilayah Kayutangan yang digadang-gadang sebagai Kampoeng Heritage ini masih belum didapati kajian yang kompleks dan komprehensif. Salah satu contohnya seperti saat ini yang secara tiba-tiba terpasang loko Lori di koridornya.
“Sebenarnya kita sebagai TACB sangat mendukung jika ingin menambahkan monumen Trem di koridor tersebut. Namun sekali lagi harus melihat konteks kesejarahan,” terangnya.
Sebab menurut Rakai, tidak pernah ditemukan catatan, dokumen, maupun memori kolktif masyarakat bahwa lori pernah melintas di koridor Kayutangan.
“Catatan sejarah jelas menguraikan terkait rel yang berada di sepanjang koridor kayutangan adalah rel Trem jurusan Stasiun Jagalan-Stasiun Blimbing,” terangnya.
Tak berhenti di situ, ia juga mengatakan jika harus dipasang monumen lokomotif Trem pun seharusnya dibarengi dengan pemipihan spot yang ideal, tidak seperti saat ini.
Dosen Sejarah Universitas Islam Internasional Dalwa itu menyayangkan jika dalam pengelolaan Kayutangan TACB tidak dilibatkan seperti yang telah tercatat di SK Wali Kota. Bahwa pengkajian dan rekomendasi mengenai cagar budaya adalah tugas dari TACB.
“Ironi sekali, ketika beberapa warga Kota Malang yang menyayangkan kinerja kami sebagai TACB lantaran tidak pernah memberikan masukan pada pemerintah dalam hal pengambilan kebijakan terkait cagar budaya seperti kasus pemasangan lori di Kayutangan ini. Padahal kami tidak pernah diajak rembuk” pungkasnya. (ptu/lio)