Profil Herman Thomas Karsten, Arsitek Belanda yang Kembangkan Kota Malang

Ikon Kota Malang, Alun-Alun Tugu
Ikon Kota Malang, Alun-Alun Tugu (blok-a/bob)

Malang, Blok-a.com – Kota Malang memperingati ulang tahunnya setiap tanggal 1 April. Tanggal tersebut pada tahun 1914 merupakan tanggal ditetapkannya Malang sebagai gemeente atau kotapraja, wilayah yang memiliki pemerintahan administratif, oleh pemerintah kolonial.

Mengutip info dari laman resmi Pemerintah Kota Malang, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) sebenarnya sudah menguasai wilayah Malang sejak tahun 1767. Namun baru pada tahun 1821 mereka membangun pusat pemerintahan di sekitar Kali Brantas. Kemudian, pada tahun 1824, Malang memiliki Asisten Residen sebagai perwakilan pemerintah kolonial Belanda.

Pada masa-masa tersebut, belum ada perencanaan tata kota yang komprehensif. Pemerintah kolonial masih berfokus membangun untuk kebutuhan kalangan mereka sendiri, yakni keluarga Belanda dan masyarakat Eropa lainnya. Sementara itu, warga pribumi harus tinggal di daerah pinggiran, dikesampingkan dari fokus tata ruang kota.

Namun perubahan cukup besar dimulai sejak beroperasinya kereta api di Malang pada tahun 1879. Perkembangan wilayah begitu cepat, di perkotaan banyak berdiri pemukiman dan industri baru di atas area pertanian. Pertumbuhan kota menjadi tak terkendali, apalagi setelah banyak berdiri pemukiman di wilayah barat dan pembangunan alun-alun pada tahun 1882.

Guna mengatasi permasalah tersebut, maka pemerintah kotapraja saat itu merekrut Herman Thomas Karsten sebagai penasihat tata kota. Dialah yang berperan aktif dalam merencanakan tata ruang Kota Malang, yang populer dengan sebutan Bouwplan I-VIII.

Profil Herman Thomas Karsten

Herman Thomas Karsten lahir di Amsterdam pada 22 April 1884. Ia keturunan Belanda-Jawa yang tumbuh dalam lingkungan akademis yang kental dan progresif. Ayahnya adalah seorang profesor filsafat di Universitas Amsterdam.

Karsten kuliah di Delft Polytechnische School, kini berkembang menjadi Delft Technische Universiteit (Universitas Teknologi Delft). Awalnya dia belajar teknik mesin, sebelum kemudian pindah ke teknik struktur dan lulus pada tahun 1911.

Dalam Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), volume 5, tahun 2022. Ketika Perang Dunia I pecah pada 1914, sebenarnya Karsten harus mengikuti wajib militer, tapi ia menolak. Ia memilih kesempatan lain yang ditawarkan oleh Henry Maclaine Pont, seniornya di Delft yang telah menetap di Hindia Belanda.

Ia menikahi wanita benama Soembinah Mangunrejo dan dikaruniai empat orang anak, yakni Regina, Simon, Yoris dan Barta. Setelah lama berkarir di firma swasta, pemerintah kolonial mengangkatnya menjadi anggota Komite Pembangunan (Bouwbeperkingscommissie) dan Komite Tata Kota (Stadsvormingscommissie).

Pada tahun 1941, Thomas Karsten sempat mengajar di Technische Hogeschool Bandoeng (cikal bakal Institut Teknologi Bandung/ITB). Namun pada masa pendudukan Jepang, ia terpaksa harus mendekam sebagai tahanan di kamp Baros, di Cimahi. Herman Thomas Karsten pun meninggal dunia di kamp tersebut pada tahun 1945.

Berkiprah di Indonesia

Akhirnya Thomas Karsten tiba di Nusantara dan singgah pertama kali di Semarang. Bekerja di firma swasta milik Henry Maclaine Pont, Semarang menjadi kota pertama yang dipercayakan kepada Karsten untuk dikembangkan. Beberapa karya awalnya di kota ini, meliputi Gedung Woonhuis Monod dan Winkel Tokohandel v.h. G.A. van de Pol.

Sekitar tahun 1918, ia menetapkan prinsip-prinsip tata kota di Hindia Belanda, yang memperhatikan kesesuaian antara elemen khas Eropa dan kearifan lokal di Nusantara. Rumusan itulah yang kemudian membuat Karsten semakin dipercaya sebagai konsultan tata kota, untuk pengembangan beberapa kota besar di Jawa.

Sejak tahun 1916 hingga 1945, tercatat ada 16 kota besar di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan yang pengembangannya dibantu oleh Karsten. Sebelum datang ke Malang pada 1930, ia sudah bekerja di Semarang, Buitenzorg (Bogor), dan Madiun.

Di Malang, Karsten memainkan peran penting dalam perencanaan tata kota. Ia merancang jalan-jalan yang mempertimbangkan kontur tanah, menciptakan suasana yang menyeimbangkan unsur kolonial Eropa dengan kondisi lokal. Filosofinya menekankan desain yang ramah lingkungan serta sesuai dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat setempat. .

Beberapa karya monumentalnya di Kota Malang adalah kawasan Idjen Boulevard dan J.P. Coen Plein, taman di depan balai kota yang kini dikenal sebagai Alun-Alun Tugu. Juga ruang terbuka hijau lainnya, termasuk Taman Victoria, Taman Slamet, dan hutan kota Malabar yang berfungsi sebagai wilayah resapan.

Kiprah Thomas Karsten masih berlanjut dengan menangani sejumlah kota besar lain. Sebut saja Batavia (Jakarta), Magelang, Bandung, Cirebon, kawasan Jatinegara di Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Purwokerto, Padang, Medan, dan Banjarmasin. (gni)