Surabaya, blok-a.com– Adi Sutarwiyono, masih saja tak mau meninggalkan kebiasannya menulis, meskipun sudah menjadi
Ketua DPRD Kota Surabaya.
Baginya darah wartawan tetap mengalir. Dia pun membiasakan diri menulis dan tak mau meninggalkan tulis menulis.
Karena menurutnya dengan menulis, adrenalinnya terpacu dan membuka banyak pemahaman, baik untuk dirinya dan orang lain.
Adi pun terhentak saat diundang wartawan usia emas (Warumas) yang bertajuk launching buku dan antologi puisi karya wartawan usia di atas 50 tahun.
Baginya ruh wartawan tetap melekat di dirinya, meski profesinya sudah pindah ke politisi, Ketua DPRD.
“Wartawan harus tetap menulis. Sampai mati,” ujarnya.
Dengan tulisan akan ada usaha pencerahan, menguraikan sesuatu hal, dan mendeskripsikan satu hal.
“Kalau menulis itu mencerahkan.
Jika sumpek, ambil pena, tulis. Jadilah tenang lagi. Orang lain akan merasakan pula dampak tulisan itu,” ujar Adi Sutarwiyono, di acara Antologi Puisi di Gedung PWI Jatim, Sabtu, (18/3/2023).
Kata dia beruntunglah wartawan di usia emas ini, yang masih punya waktu dan greget.
Menurut Adi, diperlukan pula bahwa saat ini di era digital, milenial dan disrupsi informasi serba cepat jurnalis dituntut untuk mempertahankan tulisan dan karyanya yang terbaik.
“Digital membanjiri informasi kita. Risikonya, kita kehilangan kalimat, diksi, dan kata yang sastra dan seni. Khasanah seni dan pemilihan kata indah dan bagus itu harus didorong kembali agar tidak terkikis,” tukasnya.
“Kini memang bahasa jurnalistik terasa itu- itu saja. Mengibaratkan di era digital tulisan jurnalistik terasa kering. Bandingkan dengan wartawan lampau,” ujarnya lagi.
Baginya, pemilihan diksi dan kata ini akan menjadi penting tolok ukur kualitas jurnalis Jawa Timur ke depan.
Adi yang tidak mau kemampuan menulisnya hilang terus menghasilkan karyanya.
“Justru menulis akan memperkaya wawasan dan pandangan dunia politik kita. Semakin merefleksikan tugas kita. Dan memang tidak ada wartawan yang disebut mantan,” pungkas Adi Sutarwiyono, yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan Kota Surabaya ini.
Dia menukil contoh, seorang penulis dan sastrawan sejati Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dia sampai akhir hayatnya menulis.
“Semoga semua teman teman diberikan keselamatan, ketenganan, dan kekuatan untuk berkarya terus menerus,” imbuh Adi.
4 Pilar Negara
Sementara itu, Mahmud Suhermono, Ketua Bidang OKK, PWI Jatim,
sebelum membacakan puisi seperti yang dilakukan Adi Sutarwijono, mengeluarkan sindiran pedas.
Dia mengutip pernyataan pemerintah bahwa wartawan atau pers itu adalah satu dari 4 pilar demokrasi atau negara.
Pilar pertama eksekutif, mereka bekerja dan berpikir maka selesai. Yudikatif, tugasnya berpikir dan bekerja, digaji negara. Semua fasilitas dari negara. Ketiga, legislatif, bekerja dan berpikir maka semua ditanggung negara.
“Tapi, pilar ke empat ini, bekerja dan berpikir yang baik. Tapi siapa yang menanggung, ? Pemerintah tidak menanggung fasilitas mereka,” ujarnya.
Dalam acara launching dan bedah buku antologi puisi wartawan usia emas (Warumas), ini Lutfil Hakim, Ketua PWI Jatim, membacakan puisi yang mengutip dari karya besar Zawawi Imron, asal Madura.
Sastrawan Madura itu, menulis puisi berjudul Darahku Masih Mengalir. Puisi mencerminkan kehidupan sosiologi dan antropologi masyarakat Madura ini dibacakan Lutfil, yang juga berdarah Madura, Jember.
“AkAku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang gemintang
di ranting-ranting roh nenek-moyangku.
Di ubun langit ‘ku ucapkan sumpah:
- Madura, akulah darahmu,” tutup Lutfil.
Kasta Tertinggi
Sementara itu wartawan senior dan juga asal Malang, membacakan puisi kasus Tragedi Kanjuruhan. Puisinya sempat membuat para pihak meradang.
Dia pun mendapat teguran dan ancaman untuk mempertanggungjawabkan puisi nya. Puisinya soal tragedi Kanjuruhan viral dan mendapat pujian sangat baik dari Dahlan Islam, tokoh pers Jatim.
“Tapi saya tak perduli. Siapa yang peduli soal itu. Itu karya, saya tidak takut,” ujarnya.
Dia pun melanjutkan puisinya. Sebelumnya, dia mengatakan bahwa wartawan sebenarnya adalah kasta tertinggi.
Tetapi bagi mereka yang bisa menulis dengan kata lembut, santun, dan indah. Karena kata-kata kebaikan, lembut dan santut itu kasta tertinggi dalam sastra.
Pengungkapan kata indah dan kalimat indah merupakan kasta tertinggi.
Himawan, yang sempat frustasi karena selalu hasil karyanya hilang di Laptop itu tetap berkarya, menulis dan menulis.
“Hari ke-5 tragedi. Setelah itu. Apa kata hati nuranimu. Apa masih kau susun dusta, yang melingkar-lingkar.
Menyeruak ke berbagai, kampung. Air mata seperti mata air. Lilin terus menyala. Bonek mania berkata. Berlaga adalah 45 menit kali dua.
Aremania tewas oleh kecerobohan. Setelah lima hari tragedi ini. Apa yang kau lakukan,” ujar Himawan.
Santunan Wartawan Usia 88 Tahun
Sebelum acara berakhir, sejumlah tokoh pers Jatim, senior dan junior pengurus PWI Jatim, memberikan santunan kepada Agus Samiaji.
Warga Sedati, Sidoarjo ini datang dengan kursi roda. Di balik guratan kukit keriputnya, Samiaji, terbersit semangat luar biasa untuk bertahan hidup.
Tubuhnya mulai ringkih. Mengingatkan wartawan lain, bahwa mereka akan melalui fase usia itu pula.
Ketua PWI Jatim Lutfil Hakim, Ketua DPRD Surabaya Adi Sutarwiyono, dan sejumlah wartawan memberikan tali asih kepada wartawan tua ini, Agus Samiaji.
Discussion about this post