MALANG – Lagi bokek tapi pingin nongkrong dan mengenyangkan perut? Berkelana sejenak ke tempat kuliner Tomboan Ngawonggo dibisa jadi jawaban.
Terletak di Jalan HM Noer 27, Dusun Nanasan, Desa Ngawonggo Kecamatan Tajinan, Kabupaten Malang, Tomboan Ngawonggo memberi kesempatan pengunjung untuk menikmati tradisional secara cuma-cuma.
Pemilik Tomboan Ngawonggo, Abdulloh Bilbas menjelaskan, dirinya mendirikan warung ini terinspirasi dari budaya orang pedesaaan, yakni “nonggo” atau bertamu ke tetangga.
“Kami anggap semua orang itu tetangga. Kalau ke rumah tetangga gak mungkinkan kami patok biaya untuk minum dan makan. Di sini kami terapkan budaya seperti itu. Jadi nyantai seperti ke rumah tetangga sendiri,” ujarnya ke Blok-A, Minggu (19/7).
Memang benar ketika memasuki kawasan ini di pawon atau dapur, tidak ada tulisan harga untuk menunya.
Untuk menunya sendiri juga dibuat beda dari kebanyakan tempat kuliner. Tomboan Ngawonggo tidak memaksakan isi menu dengan tren saat ini.
Di tempat kuliner Tomboan Ngawonggo bahan baku untuk menu makanan dan minuman ataupun kudapannya berdasarkan kekayaan alam yang berada di dusun Nanasan.
Terdapat menu minuman hangat dari empon-empon hingga jajanan tradisional getuk, ongol-ongol, sate tempe dan tahu, sampai nasi liwet.
Ketika memesan kudapan, minuman atau makanan, kasir akan langsung mencatat menu yang ingin dipesan. Sementara pengunjung langsung memilih menu yang dipampang menggunakan ukiran kayu dan pelapah pisang dan dibiarkan menggantung di tempat kasir.
“Jadi semua menu itu kami menyesuaikan dengan kekayaan alam di sini. Oh di sini ada pabrik tahu dan tempe kami buat itu sate. Terus ada petani empon-empon kami juga buat menu minuman dari empon-empon. Pokoknya menunya menyesuaikan komoditas petani di dusun Nanasan ini,” ujarnya.
“Karena kami beli (bahan makanan atau minumannya) langsung fresh dari petani,” imbuhnya.
Setelah memesan sedemikian menu. Suatu kewajaran bila pengunjung menunggu lama. Sebab, cara masaknya di Tomboan Ngawonggo yang baru buka Maret lalu ini masih menggunakan teknik tradisional. Menghangatkan air dan menanak nasi masih menggunakan tungku dan untuk pemantik api tidak digunakan kompor gas tapi kayu bakar.
Bahkan, pegawainya sedikit. Ada kalau dihitung sekitar enam sampai sembilan orang. Itu kata Bilbas.
Namun, untungnya menunggu waktu lama di sini tidak akan terasa. Sebab, pengunjung bisa menikmati suasana desa. Keasrian alam dan bambu menjadi alat menyelimurkan diri dan bila bosan juga bermain ke situs peninggalan Ngawonggo bisa jadi pilihan.
Ketika menu datang, pengunjung pun akan senang. Sebab, pegawai di Ngawonggo ramah-ramah dan murah senyum. Tapi jangan sampai diajak ngobrol lama. Sebab, sibuk sekali mereka naik turun mengantarkan pesanan.
Dalam sehari setidaknya, kata Bilbas yang merupakan alumnus sastra Prancis Universitas Brawijaya ini, ada sekitar 80 pengunjung.
“Pengunjungnya kebanyakan dari kota Malang atau sekitar Jawa Timur bahkan ada yang dari Jerman. Kalau Kabupaten Malang ada tapi banyakan dari kota. Mereka suka suasana desa katanya,” ujarnya.
Tapi kalau selesai makan dan minum, jika pengunjung mempunyai uang tidak ada salahnya untuk memberikan uang melalui kotak berukursn 15 x 30 cm dengan tulisan “kasir asih”.
“Ya kalau ada uang ya gak papa membayar kalau gak ada ya mending gak usah kalau datang ke sini saja kami itu sudah senang,” tutupnya.
Discussion about this post