Surabaya, Blok-a.com – Fenomena warga yang mendirikan tenda hajatan hingga menutup jalan umum kembali menuai sorotan di Surabaya. Beberapa waktu terakhir, masyarakat mengeluhkan kemacetan yang timbul akibat penggunaan badan jalan untuk acara pribadi seperti pernikahan atau syukuran keluarga. Kondisi ini bahkan memicu keresahan di sejumlah wilayah, termasuk kawasan Tambang Boyo, Tambaksari, di mana tenda hajatan menutup sebagian besar jalan raya dan menghambat arus lalu lintas.
Respons Tegas dari Wali Kota Surabaya
Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan bahwa jalan raya merupakan fasilitas publik yang penggunaannya tidak bisa sembarangan. Ia menyebut, setiap pemanfaatan jalan untuk kegiatan pribadi harus melalui izin resmi karena berpotensi mengganggu fungsi vital jalan sebagai akses utama masyarakat.
“Jalan raya adalah milik publik dan penggunaannya harus mendapat izin karena mengganggu fungsi jalan,” kata Eri, di Balai Kota Surabaya, Senin (20/10/2025).
Eri menyampaikan, pihaknya akan berkoordinasi dengan Polrestabes Surabaya untuk membahas standar pemberian izin penggunaan badan jalan.
“Saya akan koordinasi dengan Pak Kapolres (Kombes Pol Luthfie Sulistiawan). Agar ketika Kapolsek memberikan izin, harus dilihat apakah jalur tersebut merupakan jalur utama,” katanya.
Ia menilai perlu adanya aturan baku agar aparat di tingkat kecamatan atau kepolisian sektor (Polsek) tidak sembarangan memberikan izin tanpa mempertimbangkan dampak lalu lintas.
“Dan yang paling penting, harus disampaikan berapa lebar maksimal tenda yang diperbolehkan, agar tidak menutup total atau mengambil hingga tiga perempat badan jalan,” ujar Eri.
Eri juga menyinggung pengalaman pahit yang pernah terjadi di Surabaya, ketika mobil pemadam kebakaran dan ambulans terlambat melintas akibat adanya penutupan jalan untuk acara hajatan. Ia menegaskan bahwa fungsi keselamatan publik tidak boleh dikorbankan demi kepentingan pribadi.
Pandangan Akademisi: Kepentingan Publik Harus Didahulukan
Sementara itu, dari sisi akademisi, Dr. Karnaji, Dosen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, menilai kebijakan Pemkot Surabaya tersebut merupakan bentuk penegakan aturan formal yang penting di lingkungan perkotaan.
“Karakteristik masyarakat kota itu lebih cenderung pada individu, pada kepentingan pribadi. Karena itu, kerangka bermasyarakatnya harus berdasar pada aturan formal,” bebernya, dikutip dari SuaraSurabaya.
Karnaji menegaskan bahwa kepentingan publik harus selalu didahulukan dibanding kepentingan pribadi. Hajatan yang bersifat pribadi tidak seharusnya mengorbankan akses publik, apalagi menimbulkan potensi bahaya atau kemacetan.
“Kalau ini kepentingan pribadi kemudian berbenturan dengan kepentingan publik, ya tentu kepentingan publik yang harus didahulukan,” tegasnya.
Ia menambahkan, komunikasi yang lemah antara panitia hajatan dan aparat di tingkat bawah sering kali menjadi akar persoalan. Karena itu, koordinasi antara warga, RT/RW, dan kelurahan perlu diperkuat agar setiap kegiatan masyarakat dapat berjalan tanpa mengganggu ketertiban umum.
Sebagai langkah preventif, Eri Cahyadi juga mengimbau masyarakat agar aktif melapor jika menemukan kegiatan yang menutup jalan tanpa izin.
Pemkot Surabaya juga tengah menyiapkan gedung serbaguna di sejumlah wilayah untuk dijadikan alternatif tempat hajatan, sehingga warga tak lagi bergantung pada jalan umum untuk menggelar acara.
“Meskipun (pembangunan gedung serbaguna) belum di semua wilayah. Ini adalah upaya Pemkot Surabaya agar masyarakat dapat mengurangi penggunaan jalan raya untuk acara pribadi,” pungkasnya. (mg2)
Penulis: Muhammad Naufal Abiyyu (mahasiswa magang UTM Bangkalan)











Balas
Lihat komentar