Banyuwangi, blok-a.com – Ritual adat ‘Seblang Bakungan’ kembali digelar masyarakat suku Osing, di Kelurahan Bakungan, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Minggu (9/7/2023), setelah lebih dari dua tahun berhenti karena pandemi Covid-19.
Tarian sakral Seblang Bakungan ini merupakan salah satu bagian ritual adat bersih desa yang bermakna ‘Sebele Ilang’ atau ‘sialnya hilang’.
Ritual adat ini telah berlangsung selama ratusan tahun. Digelar tepatnya satu minggu pasca hari raya Idul Adha atau lebaran haji.
Baca Juga: Tradisi Unik Suku Osing “Mepe Kasur” Jelang Idul Adha
Seblang Bakungan sebagai simbolisasi rasa syukur dan memohon kepada Allah agar seluruh warga desa diberi kedamaian, keselamatan, ketenangan, keamanan, dan kemudahan untuk mendapat rezeki yang halal serta barokah.
Selama lima tahun berturut-turut Seblang Bakungan ditarikan oleh Mbah Supani.
Namun, kini Mbah Supani telah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta sehingga digantikan oleh keturunannya, Mbah Aisyah.

Mbah Aisyah lebih dulu dibacakan mantra dan doa untuk mengundang roh leluhur. Setelah kerasukan, Aisyah menari mengikuti irama gending yang mengiringinya.
Penari seblang akan menari semalam suntuk diiringi puluhan gending. Seperti, Kodok Ngorek dan Seblang Lukinto.
Mbah Aisyah menarikan gerakan-gerakan magis sembari memegang keris di kedua tangannya.
Dari pantauan blok-a.com, sebelum seblang dimainkan, diawali tumpengan bersama warga di sepanjang jalan menuju Bakungan yang dimulai seusai Magrib, dan sholat hajat di Masjid desa.
Lalu dilanjutkan parade oncor (obor) keliling desa (ider bumi). Kemudian di bawah temaram api obor warga desa makan tumpeng bersama di sepanjang jalan desa.
Menurut salah satu warga setempat, Wahyudi tarian ini tidak hanya menjadi seni pertunjukan, tapi sebagai penguatan budaya yang ada di Banyuwangi.
“Banyuwangi konsisten mengangkat tradisi dan budaya lokal sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Salah satunya melalui event festival seperti ini,” kata Wahyudi.
“Bagi Banyuwangi, festival bukan sekedar cara untuk mendatangkan wisatawan, tapi juga cara untuk menguatkan gotong royong, pemahaman dan pelestarian budaya. Sehingga tradisi dan budaya lokal tetap tumbuh subur di tengah modernitas,” imbuhnya.(kur/lio)