KABUPATEN MALANG – Surat Edaran dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dengan nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika Untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif telah terbit.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan sejumlah pedoman penanganan kasus UU ITE, salah satu yang menjadi sorotan adalah tersangka tidak dilakukan penahanan, sebelum berkas diajukan ke JPU atar diberikan ruang untuk mediasi.
“Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali,” tulis Sigit dalam edaran tersebut.
Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (UB) Dr. Prija Jatmika berpendapat bahwa surat edaran tersebut memang hanya berlaku pada pasal pencemaran nama baik.
“UU ITE itu kan pasalnya banyak, yang sering menjadi masalah kan pasal 27 ayat 3 terkait penghinaan atau pencemaran nama baik. Surat edaran tersebut hanya bisa terlaksana di kasus pencemaran nama baik, pelaksanaan mediasi tersebut tergantung kepada korban mau menerima permintaan maaf atau tidak,” bebernya.
“Kalo misalkan korban tidak terima, penyidik tetap harus memproses. Terkait penahanan itu memang dalam kasus pencemaran nama baik tidak bisa dilakukan, karena ancaman hukumannya 4 tahun. Sedangkan penahanan dapat dilakukan pada pasal yang ancaman hukumannya 5 tahun,” jelas dosen hukum pidana fakultas hukum UB ini.
Menurutnya mediasi yang ada dalam surat edaran Kapolri memang hanya bisa berlaku di pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Mediasi itu tidak dapat dilakukan di pasal lain.
“Kalau di UU ITE hanya bisa di kasus pencemaran nama baik, itupun kembali lagi tergantung pada korban mau menerima permintaan maaf tersangka atau tidak. Di pasal lain contohnya seperti pasal 28 ayat 2 mengenai SARA, itu tidak bisa karena ranahnya publik. Yang tersinggung bisa diibaratkan orang banyak pada suku, agama, ras, dan golongan tertentu. Kalau pencemaran nama baik kan lebih ke pribadi. Karena pidana itu soal merugikan kepentingan publik,” terang Prija Jatimka sembari menerangkan lebih detail.
Surat Edaran Kapolri ini tidak membuat pasal multitafsir yang ada di UU ITE berkurang karena tetap bergantung pada korban. Bahkan dirasa oleh Prija Sujatmika tanggung.
“Surat Edaran ini ya tidak bisa mengurangi multitafsir UU ITE, khususnya pencemaran nama baik karena merujuknya tetap pada pasal 310 KUHP. Sifatnya tanggung karena hanya bisa efektif ke pasal pencemaran nama baik, itu pun tergantung pada korban. Tidak bisa dilakukan ke pasal UU ITE yang lain,” lanjut Prija.
“Apabila ingin mengurangi sifat multitafsir UU ITE ya DPR mengeluarkan pasal pencemaran nama baik dari KUHP dan UU ITE. Atau bisa disebut dekriminalisasi yaitu dikeluarkan dari hukum pidana dan dimasukkan ke hukum perdata. Karena di luar negeri pun seperti itu. Dalam kasus pencemaran nama baik tidak ada publik yang dirugikan,” pungkas Prija Jatmika sembari menutup perbincangan.
Untuk diketahui, Surat Edaran Kapolri ini merupakan bentuk reaksi dari pidato Presiden Jokowi yang menyinggung soal rasa keadilan pada penerapan UU ITE. Menko Polhukam Mahfud MD langsung membentuk dua tim untuk menindaklanjuti kontroversi pada pasal karet tersebut.