Gelombang PHK Massal Melanda Indonesia, Puluhan Ribu Orang Jadi Pengangguran

Gelombang PHK Massal RI. (ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)
Gelombang PHK Massal RI. (ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

Blok-a.com – Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal tengah menjadi sorotan. Terhitung sejak Januari sampai 6 Agustus 2024, lebih dari 40 ribu pekerja dari berbagai sektor telah kehilangan pekerjaan.

“Total data PHK per 6 Agustus 2024 ialah 43.586,” ujar Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (PHI-JSK) Kemnaker Indah Anggoro Putri kepada Media Indonesia, dilansir Kamis, (8/8/2024).

Namun angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan data Kementerian Tenaga Kerja, seperti yang tercatat di laman https://satudata.kemnaker.go.id/data/kumpulan-data/1858. Blok-a.com mengakses data tersebut pada Kamis, (8/8/2024). Menemukan bahwa jumlah tenaga kerja ter-PHK periode Januari – Mei 2024 sebanyak 69.472 orang.

Terlepas dari perbedaan angka tersebut, data-data di atas diambil berdasarkan laporan perusahaan. Jadi, angka real-nya bisa jadi lebih besar dan akan meningkat. Mengingat kondisi ekonomi dan beberapa perusahaan di Tanah Air.

Penyumbang PHK Tertinggi

Dikutip dari Koran Tempo, sektor paling banyak mengalami PHK massal adalah tekstil dan alas kaki, khususnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) mencatat sejumlah 13 ribu lebih pekerja di-PHK sejak awal 2024.

Khusus di Jawa Tengah, Asosiasi Pertekstilan Indonesia memunculkan angka 15 ribu pekerja kena PHK akibat 10 pabrik tutup.

Selain industri tekstil, sejumlah perusahaan teknologi dan rintisan juga ditemukan memberhentikan ratusan karyawannya demi memangkas pengeluaran.

Beberapa contoh perusahaan tersebut, di antaranya PT Sai Apparel Industries (produsen pakaian merk H&M) yang mem-PHK sekitar 8.000 orang dan Tokopedia sejumlah 450 karyawan.

Di Jakarta, jumlah pekerja yang mengalami PHK periode Januari – Juni 2024, mencapai 7.469 orang, meningkat hampir 1.000% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Lonjakan PHK ini tidak hanya menciptakan ancaman sosial, tetapi juga potensi bahaya bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kondisi ini bisa menghambat proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun 2025, bahkan bisa turun di bawah target 5%.

Menurut Bhima, gelombang PHK diperkirakan akan terus berlanjut dan tidak hanya terjadi di sektor industri, tetapi juga di sektor digital.

Faktor Pemicu PHK

Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKPM) Bahlil Lahadalia, ada dua faktor pemicu terjadinya fenomena PHK massal ini.

“Masalahnya ada yang karena mesinnya tua dan yang kedua biaya ekonominya sudah tinggi dibandingkan negara lain,” katanya dalam konferensi pers di kantor BPKPM, Jakarta Selatan, melansir Berita Satu, Senin(29/7/2024).

Bukan hanya itu, secara umum PHK massal dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat, membuat permintaan di pasar turun. Apalagi dengan bertambahnya pasokan barang impor yang mengancam persaingan produk lokal.

Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian Sekretaris Jenderal (Setjen) DPR RI mengungkapkan bahwa maraknya PHK disebabkan karena perlambatan ekonomi dunia dan kondisi geopolitik yang tidak menentu sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam berusaha.

Pada tahun 2024, perusahaan harus menaikkan produktivitas lebih dari 7% untuk menyerap kenaikan-kenaikan karena gaji, bahan baku, pelemahan rupiah dan lain lain. Perusahaan yang tidak efisien akan menghadapi persoalan daya saing. Oleh karena itu, salah satu langkah efisiensi perusahaan adalah dengan melakukan PHK.

Sektor Informal Kebanjiran Pekerja

Gelombang PHK massal otomatis memicu munculnya angka pengangguran terbuka. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2024 sebesar 4,82%. Namun, angka tersebut justru turun 0,63% dibandingkan dengan Februari 2023.

Penurunan angka TPT di tengah gelombang PHK, sebagian besar disebabkan oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor informal. Bidang usaha yang kegiatan ekonominya tidak diatur pemerintah. Seperti pekerja harian, pekerja lepas (freelancer), ojek online, pedagang, seniman, dan lain sebagainya.

Pengumudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Stasiun Manggarai, Jakarta.(TEMPO/Subekti)
Pengumudi ojek online menunggu penumpang di kawasan Stasiun Manggarai, Jakarta.(TEMPO/Subekti)

Saat ini, proporsi pekerja informal di Indonesia mencapai 59,17%, meningkat signifikan dibandingkan 55,88% pada Agustus 2019.

Barra Kukuh Mamia, Ekonom BCA, menyoroti bahwa banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan di sektor formal, terutama di pabrik, kini beralih menjadi pengemudi taksi atau ojek online, atau bekerja di e-commerce.

Data BPS DKI Jakarta menunjukkan bahwa pada Februari 2024, sebanyak 1,84 juta orang atau 36,06% warga ibu kota bekerja di sektor informal, meningkat 1,28% dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, tingginya jumlah pekerja informal ini menunjukkan adanya masalah serius dalam penyerapan angkatan kerja di sektor formal.

Pekerja informal kerap menghadapi ketidakpastian pendapatan, kurangnya perlindungan asuransi, serta kesulitan dalam mengakses modal dan kredit.

Kenaikan jumlah pekerja informal yang diiringi dengan lonjakan PHK berpotensi memicu masalah sosial yang lebih besar dan mengancam stabilitas ekonomi Indonesia di masa mendatang.(gni)

Kirim pesan
Butuh bantuan?
Hai, apa kabar?
Apa yang bisa kami bantu?